Wednesday, October 30, 2013

Pendidikan Melawan Kemunafikan

PENDIDIKAN MELAWAN KEMUNAFIKAN

SEBAGAI bangsa, sebenarnya Indonesia terombang-ambing di samudera kemunafikan. Bahkan, corak dan format kemunafikan itu begitu puspa ragam. Dampak buruknya juga sangat dahsyat. Karena itu pula, muncul pertanyaan kritis. Mungkinkah pendidikan mampu melawan kemunafikan?

Puspa ragam kemunafikan itu dapat ditelisik pada fakta yang begitu terang benderang. Pertama, kemunafikan hadir sebagai reperkusi maraknya korupsi dalam tata kelola pemerintahan. Baik para birokrat maupun kaum politikus berjibaku melanggengkan korupsi dalam ranah pemerintahan di berbagai lini. Hingga kemudian timbul kejanggalan tiada tara: Memahami korupsi sebagai minyak pelumas yang dipersepsi menjamin kelangsungan perputaran roda pemerintahan. Amanat penderitaan rakyat lalu mandeg sekadar pemanis dalam serangkaian retorika politik. 

Kedua, kemunafikan bertali-temali dengan dangkalnya visi dakwah keagamaan di televisi. Para perancang dakwah keagamaan di televisi terjerembab ke dalam pusaran ego kompetisi untuk hanya memenangkan ketenaran, rating dan popularitas berefek finansial. Ke hadapan publik, dakwah keagamaan televisi gagal menyuguhkan pencerahan hakiki demi terbentuknya bangsa berakhlak mulia. Dakwah keagamaan majal oleh kegagapan mencerabut hingga ke akar-akarnya patologi sekularisme, pragmatisme, hedonisme dan materialisme. Malah, dakwah televisi bergeser menjadi ajang dagelan hampa makna, penuh dengan laku cengingisan.

Ketiga, kemunafikan terkukuhkan oleh pengedepanan egoisme di balik argumentasi-argumensi yang dikamuflase logis-rasional. Media massa diwarnai oleh perang argumentasi tegaknya keadilan, demokrasi, dan reformasi. Tapi anehnya, argumentasi-argumentasi itu menghamba pada egoisme para tokoh yang menyuarakannya. Perang argumentasi bermuara pada tawar-menawar kepentingan egoistik, yang kabur kaitannya dengan terwujudnya harkat, martabat dan kedaulatan rakyak. Bukan saja tak berdimensi edukatif, perang argumentasi hanyalah artikulasi secara telanjang motif parsial-partikular "wani piro", yang sungguh memuakkan.

Disadari atau tidak, kita lalu menjadi bangsa laknat. Trio kemunafikan di atas memunculkan implikasi rumit dan kompleks, yaitu terciptanya psiko-sosial yang sakit. Generasi muda mencerap trio kemunafikan itu sebagai banalitas hidup yang layak diterima sebagai pandangan dunia (Weltanschauung). Tak mengherankan jika tawuran pelajar dan seks bebas di kalangan pelajar mengacu pada trio kemunafikan tersebut.

Demi menyelamatkan generasi muda dari kehancuran jati diri berdimensi eksistensial, maka kinilah saatnya bagi dunia pendidikan menabuh genderang perlawanan. Pedagogi, mutlak diperlakukan sebagai strategi meruntuhkan habitus kemunafikan itu. Ini berarti, revitalisasi pendidikan diarahkan sebagai upaya serius rehabilitasi pedagogi. Hal fundamental yang lantas niscaya dilakukan adalah implementasi pedagogi kembar. Pada satu sisi, pedagogi fokus membangun kesadaran ihwal kemuliaan manusia. Pada lain sisi, pedagogi merajut kesadaran tentang bahaya bercokolnya musuh hakiki: Barisan komprador kemunafikan.

Pedagogi ihwal "kemuliaan manusia" berisikan pengakuan dan pembuktian, bahwa manusia merupakan mahluk paling mulia di alam semesta, namun nista bilamana munafik. Kemenyatuan akal dan ruhani merupakan variabel penentu kemuliaan seorang manusia. Optimalisasi fungsi akal diperlakukan secara elegan berbanding lurus dengan pematangan dan penyempurnaan ruhani. Pendidikan mencetak keluhuran budi: Kecerdasan akal dikondisikan seiring sejalan dengan kecerdasan ruhani. Akal dan ruhani diaksiomakan berjalin kelindan satu sama lain.

Pedagogi tentang "musuh hakiki manusia" justru mengharuskan dunia pendidikan berani mengoreksi kesalahan konsepsi persaudaraan universal. Bahwa persaudaraan universal tidak mencakup anasir-anasir kemunafikan. Tidak ada persaudaraan universal jika tidak dalam rangka "kemenyatuan akal dan ruhani" dalam peradaban dan kebudayaan. Pendidikan benar-benar didedahkan sebagai garda besar perlawanan terhadap kemunafikan.

Maka, pendidikan memasuki etape baru kesadaran: Memperbedakan kawan dan lawan. Demikianlah hakikat pendidikan kini, melawan kemunafikan.[]

Anwari WMK

Saturday, October 26, 2013

Riset Pendidikan Era Internet

RISET PENDIDIKAN ERA INTERNET

INTERNET menyuguhkan realitas baru terhadap dunia pendidikan, dan lantaran itu pula internet mengubah teknikalitas pembelajaran. Segala macam informasi, data dan fakta, tumpah ruah di kancah internet. Internet menjadi sumber alternatif untuk menemukan bahan-bahan pembelajaran, demi terbentuknya pola penguasaan secara mumpuni ilmu pengetahuan. Inilah realitas yang tak terbantahkan kini. Tapi sayangnya, dunia pendidikan tak maksimal merengkuh manfaat dari internet.

Sebagai pengusung realitas baru, internet bukan semata berkedudukan sebagai kekuatan kultural  mutakhir yang turut serta meramaikan [dan bahkan menghebohkan] peradaban umat manusia. Tanpa bisa dielakkan, internet pun hadir dengan mengubah orientasi pembelajaran dalam tata kelola pendidikan. Internet telah sedemikian rupa menggeser pembelajaran, menjadi “tak sepenuhnya berdinding”. Artinya, dengan optimalisasi pemanfaatan internet, pembelajaran leluasa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Disimak ke dalam dimensi ruang-waktu, internet mengondisikan proses pembelajaran bersifat relatif, walau penguasaan ilmu bersifat absolut.

Setidaknya, kini ada tiga hal yang patut dicatat dari keberadaan internet. Pertama, ketersediaan puspa ragam informasi, data dan fakta berada dalam perkembangan yang kian kompleks, oleh semakin terbukanya akses terhadap internet. Kedua, internet menyuguhkan kecepatan dan kemutakhiran konten informasi, data dan fakta.  Ketiga, internet berfungsi sebagai perpustakaan virtual yang memungkinkan siapa pun mengais ilmu pengetahuan melalui internet. Pendek cerita, pada abad XXI kini, internet merupakan wahana dan tonggak perjumpaan antara produsen dan konsumen ilmu pengetahuan.


Mengapa hingga kini dunia pendidikan setengah hati mengupayakan internet fungsional sebagai sumber pembelajaran? Ternyata, hingga kini, kaum guru belum serius membangun kompetensi riset pendidikan, dengan internet sebagai field study-nya. Dalam konteks pendidikan nasional, misalnya, belum tumbuh kelaziman riset-riset pendidikan yang ontologinya digali dari internet. Bahkan acapkali muncul pertanyaan aneh: Untuk apa riset pendidikan di internet? Inilah problematika baru pendidikan nasional pada era internet kini.

Puspa ragam konten yang terakumulasi sedemikain dahsyatnya di dunia internet justru malah mendesak direspons dengan riset-riset pendidikan. Pada satu sisi, internet memang kaya dengan berbagai macam informasi, data dan fakta. Tapi pada lain sisi, internet merupakan referensi yang rapuh. Internet lebih menyerupai “hutan belantara” informasi, data dan fakta, sehingga tak setiap konten internet relevan dengan dunia pendidikan.

Pada titik persoalan inilah, maka riset pendidikan dibutuhklan untuk keperluan sistematisasi dan kategorisasi informasi, data dan fakta yang tersaji di internet. Melalui riset, dapat ditelisik makna demi makna yang terkandung dalam konten-konten internet. Riset dibutuhkan agar informasi, data dan fakta yang digali dari internet benar-benar relevan dengan dunia pendidikan. Berpijak pada kata kunci “sistematisasi” dan “kategorisasi”, maka riset lebih ditekankan pada penyusunan anotasi-anotasi. Bahkan, laporan-laporan riset pun disusun dengan merujuk pada anotasi-anotasi tersebut.

Dengan “sistematisasi” berarti, dilakukan pencatatan secara saksama terhadap aspek-aspek fundamental pendidikan, yang centang perenang di kancah internet. Pencatatan aspek-aspek fundamental bukan saja penting, tapi sekaligus mendesak dilakukan sebagai bagian dari upaya reformasi pendidikan. Dengan “kategorisasi” berarti, dilakukan pemetaan terhadap aspek-aspek fundamental pendidikan, yang tersaji tak beraturan di internet. Bahkan dengan pemetaan itu pula, riset dapat dikerahkan sebagai upaya ilmiah yang pada derajat tertentu justru melandasi terbentuknya politik pendidikan nasional. Maka, dengan “sistematisasi” dan “kategorisasi”, isu-isu pendidikan yang terlansir ramai di internet tak diterima secara taken for granted, tetapi dimaknai segenap hakikatnya dalam anotasi.[]

Anwari WMK

Wednesday, October 23, 2013

Lelang Jabatan Kepala Sekolah

LELANG JABATAN KEPALA SEKOLAH

DALAM lingkup sekolah-sekolah negeri saja, kompleksitas mewarnai tata kelola pendidikan di seantero DKI Jakarta. Bagaimana tidak? Jumlah total sekolah-sekolah negeri yang tersebar di teritori DKI Jakarta mencapai 2.669 sekolah, dengan rincian: SD sebanyak 2.200 sekolah, SMP 289 sekolah, SMA 117 sekolah, dan SMK 63 sekolah. Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama menyimpulkan, bahwa banyak dari sekolah negeri itu terseok-seok eksistensinya sebagai pusaran masalah. Tanpa tedeng aling-aling, tawuran, penyiraman air keras, dan perbuatan mesum, muncul sebagai problematika edukatif di sekolah-sekolah negeri.

Solusi atas masalah-masalah tersebut, menurut Wakil Gubernur, adalah revitalisasi secara mendasar peran, fungsi, dan kedudukan kepala-kepala sekolah. Sudah tidak relevan lagi jika keberadaan kepala-kepala sekolah dimengerti secara sempit semata sebagai jabatan, seperti lazim dipersepsi selama ini. Jauh lebih penting lagi dari itu, kepala sekolah diperlakukan sebagai sebuah posisi yang terhormat karena pada dirinya melekat tanggung jawab terwujudnya akuntabilitas pencerdasan anak-anak bangsa. Atas dasar ini pula, maka lelang jabatan kepala-kepala sekolah negeri dinilai urgen dan mendesak. Seorang guru diberi jabatan kepala sekolah bukan berdasarkan alasan like and dislike, tetapi lantaran memiliki wawasan akademik yang mumpuni, kematangan jiwa dan kewibawaan kepemimpinan.

Manakala dikaitkan dengan makna penting pendidikan dalam peradaban, maka lelang jabatan kepala sekolah merupakan keputusan politik yang elok didukung. Dengan latar belakang peradaban urban-megapolitan yang senantiasa dinamis-dialektis, pendidikan di seantero Jakarta sesungguhnya berada dalam satu titik pertaruhan. Artinya, mutlak bagi institusi-institusi pendidikan tampil ke depan sebagai lokomotif kemajuan masyarakat urban-megapolitan, memasuki etape-etape baru kehidupan. Tantangan ini hanya mungkin bisa dijawab secara elegan oleh institusi-institusi pendidikan, yakni manakala terdapat kejelasan akuntabilitas kepemimpinan kepala sekolah. Agar pendidikan berwibawa sebagai pilar peradaban, maka mustahil hadirnya pribadi-pribadi rapuh pengendali jabatan kepala sekolah.

Jika institusi-institusi pendidikan melaju ke depan haluan zaman dengan dikawal secara kuat oleh kepemimpinan mumpuni kepala-kepala sekolah, maka dua hal dapat tercapai. Pertama, terpenuhinya tuntutan agar murid tumbuh sebagai pribadi bermoral, berkarakter serta memiliki kecerdasan emosional. Kepala sekolah dalam konteks ini merupakan eksistensi pokok, penentu lahirnya generasi baru bangsa yang menjunjung tinggi integritas. Kedua, institusi pendidikan mengukuhkan dirinya sebagai pusat akumulasi dan penyebaran ilmu pengetahuaan secara bermartabat. Kepemipinan seorang kepala sekolah lalu identik dengan kepemimpinan penguasan ilmu pengetahuan dalam maknanya yang hakiki.

Sejatinya, isu lelang jabatan kepala sekolah negeri diselamatkan dari bahaya cara pandang penuh kegusaran terhadap politik pendidikan di DKI Jakarta seperti yang berlangsung selama ini. Fakta bahwa sejauh ini kepala-kepala sekolah merupakan esensi yang tak signifikan bagi pendidikan yang mencerahkan, cukup sudah dicatat secara saksama sebagai "arkeologi kegagapan" dunia pendidikan [khususnya di sekolah-sekolah negeri]. Kini sudah saatnya kita serius memikirkan "makna hakiki jabatan kepala sekolah" dalam hubungannya dengan hakikat pendidikan sebagai pilar peradaban. Bahwa tugas fundamental kepala-kepala sekolah adalah merumuskan titik perjumpaan dua varibel pemanusiaan manusia. Variabel pertama adalah kompleksitas keilmuan, sedangkan variabel kedua adalah pembangunan karakter.

Dalam praksis kepemimpinan kepala sekolah terdapat aksioma edukatif yang integratif. Kepemimpinan kepala sekolah mensinergikan secara elegan dua hal fundamental, yaitu kompleksitas keilmuan dan pembangunan karakter. Kebiasaan mencerai beraikan dua hal ini harus segera diakhiri. Tradisi penguasaan ilmu yang menjunjung integritas berimplikasi langsung pada pembangunan karakter. Lelang jabatan berdayaguna mengejawantahkan aksioma tersebut.[]

Anwari WMK

Monday, October 21, 2013

Antara Kebudayaan dan Pembangunan

ANTARA KEBUDAYAAN DAN PEMBANGUNAN

BAGAIMANA sesungguhnya hubungan antara kebudayaan dan pembangunan? Bagaimana dunia pendidikan memahami saling hubungan antara kebudayaan dan pembangunan? Mana yang terlebih dahulu niscaya dijadikan dasar dalam hubungan tersebut?

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka sejak era Orde Baru. Dan kini setelah Orde Baru berlalu tersapu angin sejarah, pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali berkumandang.

Di Bali pada 24 hingga 27 November 2013, diselenggarakan World Culture Forum (WCF). Simposium internasional yang menjadi bagian dari perhelatan WCF tersebut mengangkat enam topik, yaitu: (1) Holistic Approaches to Culture in Development, (2) Civil Society and Cultural Democracy, (3) Creativity and Cultural Economics, (4) Culture in Environment Sustainability, (5) Sustainability Urban Development, (6) Interfaith Dialoque and Community Building.

Topik-topik tersebut tersusun sebagai konsekuensi logis dari hadirnya perspektif sempit terhadap kebudayaan. Topik-topik tersebut merefleksikan kelirunya kesadaran bahwa "kebudayaan merupakan pendukung pembangunan".

Kebudayaan didudukkan secara pasif sebagai pemberi legitimasi terhadap penyelenggaraan pembangunan. Kebudayaan dikelola untuk membentuk manusia dengan mentalitas pembangunan. Inilah kesadaran yang memandang bahwa tidak ada gunanya kebudayaan, jika ternyata gagal menyokong sukses pembangunan ekonomi dan politik.

Bagi dunia pendidikan, cara pandang ini tidak patut diadopsi untuk membentuk kesadaran kebudayaan dalam diri manusia. Cara pandang ini tidak layak dijadikan paradigma edukasi. Itu karena, kebudayaan diposisikan secara sempit sebagai subordinasi dari pembangunanisme. Kebudayaan hanya diletakkan sebagai catatan kaki dalam totalitas gemuruh pembangunanisme. Kebudayaan hanya diposisikan sebagai pendorong "mobil mogok" pembangunanisme.

Dalam kompleksitas kehidupan abad XXI kini, kebudayaan justru merupakan lingkaran besar pembentuk atmosfer kehidupan yang bermartabat. Tak mencukupinya satu disiplin ilmu memecahkan masalah-masalah kongkret, meniscayakan adanya dua hal. Pertama, hadirnya pendekatan interdisipliner yang dirajut secara rapih oleh filsafat, sehingga interdisipliner berdaya guna memecahkan masalah-masalah riil berbasis ilmu pengetahuan. Kedua, rajutan filosofis berbagai disiplin ilmu mutlak berada dalam lingkaran besar kebudayaan. Agar, solusi masalah berbasis ilmu pengetahuan tak terjebak ke dalam rasionalisme dan empirisme yang meluluhlantakkan kemanusiaan.

Jelas pada akhirnya, kebudayaan bukankah pemberi legitimasi kepada pembangunanisme, kebudayaan justru berkedudukan sebagai pengarah dan pengawas terhadap seluruh proses pembangunanisme. Modal kebudayaan bersukmakan keadilan, kemanusiaan dan keindahan diperlakukan sebagai kekuatan besar untuk menelisik secara kritis arti dan makna pembangunanisme. Sehingga dengan demikian terdapat kejelasan skema. Pada satu sisi, pembangunanisme merupakan implikasi logis dari adanya jalinan filosofis interdisipliner. Pada lain sisi, akselerasi pembangunanisme diawasi secara kritis oleh kebudayaan.

Maka, bagi dunia pendidikan, tak mungkin pula kebudayaan terus-menerus dimengerti secara terbatas sebagai seni. Kubudayaan mutlak dipahami sebagai sistem nilai yang menjamin pemanusiaan manusia. Sejatinya, kebudayaan dipahami secara jernih sebagai penjamin kemerdekaan manusia dari belenggu penistaan, penindasan, perbudakan. Jika ternyata pembangunanisme hanya melahirkan penistaan, penindasan dan perbudakan, maka kebudayaan tampil sebagai kekuatan koreksi yang kritikal terhadap praksis pembangunanisme. Paradigma inilah yang patut dan layak diadopsi oleh dunia pendidikan.

Kita musti jujur mengakui bersimaharajalelanya dua pilar kezaliman masa kini, yaitu demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal. Penderitaan jutaan umat manusia dalam nestapa kemiskinan struktural dihela oleh gemuruh perguliran demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal. Tragisnya lagi, pembangunanisme merupakan hamparan luas bagi tumbuh suburnya dua pilar kezaliman tersebut. Malapetaka tiada tara jika ternyata kebudayaan hanya memberi pembenaran terhadap pembangunanisme yang sedemikian rupa itu.

Maka, pendidikan harus memiliki kejelasan paradigma kebudayaan.[]

Anwari WMK

Monday, August 19, 2013

Tantangan Ilmu Hayati

TANTANGAN ILMU HAYATI

Oleh Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan, Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

PERKEMBANGAN terbaru ilmu hayati (life science) di Indonesia patut dicatat secara saksama. Institut Teknologi Bandung (ITB) berencana menjadikan Kampus Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, sebagai ajang penyelenggaraan kegiatan akademis yang fokus pada pengembangan ilmu-ilmu hayati. Kampus seluas 47 hektar itu mengembangkan rekayasa pertanian, perhutanan, bioenergi, dan sebagainya. Dari keberadaan ITB secara keseluruhan, Kampus Jatinangor benar-benar diposisikan sebagai pusat pengembang ilmu hayati. Dari sini pula publik patut berharap, bahwa seluruh upaya pengembangan ilmu hayati tersebut benar-benar berimplikasi positif terhadap Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Sebagaimana diketahui, ilmu hayati semakin berperan signifikan dalam hal membentuk kesadaran baru kehidupan. Melalui pendaya-gunaan ilmu hayati, manusia semakin didekatkan pada pemahaman secara holistik terhadap seluruh hakikat yang terkait dengan mahluk hidup. Sementara dalam jangka panjang, keberadaan mahluk hidup bertautan erat dengan ekosistem.

INTERDISIPLINER

Sebagai sebuah kerangka studi terhadap organisme, ilmu hayati bersinggungan dengan berbagai macam aspek ekosistem dalam satu hamparan geografis yang spesifik. Lingkungan fisis serta berbagai macam pola interaksinya dengan mahluk hidup telah mencetuskan tolak ukur spesifik kebermaknaan hidup manusia. Melalui pemahaman terhadap ilmu hayati, manusia dapat meningkatkan kualitas hidup dan standar hidup.

Dalam pengertiannya secara sederhana, ilmu hayati merupakan sebuah kerangka kerja ilmiah yang mengkaji keberadaan mikroorganisme, tumbuhan, binatang dan aspek biologis manusia. Tapi dalam pengertiaannya yang kompleks, ilmu hayati mencakup ontologi yang luas, beragam, dan multiperspektif. Ilmu hayati dalam pengertian sempit dan luas itu penting disimak, agar ia berperan sebagai faktor fundamental peningkatan kualitas hidup manusia dan peningkatan standar hidup manusia.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari, manusia terus-menerus diperhadapkan dengan arti penting kesehatan, pertanian, pengobatan, farmasi, pangan dan industri. Semua ini berubah menjadi tantangan, dan bahkan persoalan, jika tak tertangani dengan baik. Dan untuk dapat menangani dengan baik, maka dibutuhkan memahaman secara akademik-filosofis. Dengan demikian berarti, ilmu hayati merupakan sebuah rumpun ilmu pengetahuan yang keberadaannya amat sangat relevan dengan kehidupan manusia.

Diperhadapkan dengan tantangan kehidupan abad XXI kini, makna penting ilmu hayati tampak kian menonjol. Mengabaikan ilmu-ilmu hayati sama saja dengan mengabaikan kehidupan itu sendiri. Sungguh pun demikian, sebuah catatan penting dikemukakan sebagai upaya kontemplasi.

Betapa pun sangatlah jelas relevansi ilmu hayati dalam hubungannya dengan keberadaan manusia, penanganannya tidak mungkin secara sambil lalu. Ilmu hayati mutlak ditangani secara serius dengan mempertimbangkan seluruh faktor obyektif yang menyertainya.  Artinya, kita tak dapat mengelak dari kemestian, bahwa dalam perkembangannya yang lebih mutakhir, ilmu hayati bersinggungan dengan disiplin ilmu pengetahuan yang lain.

Agar sepenuhnya maslahat bagi kehidupan umat manusia, ilmu hayati mutlak dimengerti sebagai ilmu pengetahuan berwatak interdisipliner. Biologi molekular, misalnya, kini merupakan mercusuar yang menandai masuknya ilmu hayati ke dalam spektrum ilmu pengetahuan interdisipliner. Penguasaan ilmu hayati meniscayakan kukuhnya pemahaman terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Dengan kata lain, kerja-kerja akademik yang termaktub di dalamnya berada dalam spektrum luas hubungan antar-disiplin ilmu pengetahuan. Pada satu sisi, biologi molekular merupakan cabang dari biologi. Tapi pada lain sisi, aktualisasinya untuk kemaslahatan hidup umat manusia berjalin kelindan dengan ilmu kimia, genetika dan biokimia.

Alasan pokok mengapa biologi molekular masuk ke dalam ranah interdisipliner, hal itu terkait erat dengan perannya sebagai ilmu pengetahuan yang terus-menerus berupaya memahami hakikat interaksi antarsel dari keberadaan mahluk hidup. Sedemikian rupa keberjalin kelindanan itu, sampai-sampai ilmuwan William Astbury (1889-1961) pada awal dekade 1960-an menyebut biologi molekuler sebagai ilmu pengetahuan dasar yang menjadi titik tolak bagi kerangka kerja akademik disiplin-disiplin ilmu pengetahuan lain.

DUA CATATAN

Dan apa yang kemudian penting kita catat adalah dua hal. Pertama, interdisipliner mutlak dimengerti sebagai sebuah kondisi yang meniscayakan ilmu hayati bersambung sinambung dengan falsafah dan psikologi. Kalau pun hingga sekarang ini kebersinambungan tersebut belum dirasakan secara mencolok, maka dalam etape waktu ke depan harus disadari bakal hadir membentuk kenyataan.

Kedua, institusi pendidikan tinggi selevel ITB tak cukup hanya memandang signifikan kemegahan kampus di Jatinangor. Lebih dari itu, ITB dituntut serius mengelaborasi berbagai macam model keterhubungan ilmu hayati dengan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Jika imperatif ini mampu diwujudkan, maka semakin jelas dan konkret kontribusi ITB dalam hal peningkatan kualitas hidup dan standard hidup bangsa Indonesia.

Kita kini berada dalam tuntutan yang tak kepalang tanggung. Bahwa, sudah saatnya berdiri sebuah kampus pendidikan tinggi yang memang serius dicanangkan sebagai center of excellence rekayasa pertanian, perhutanan dan bioengineering untuk kemaslahatan rakyat dan bangsa Indonesia.[]

Tuesday, August 13, 2013

Kehidupan Berbingkai Sastra

KEHIDUPAN BERBINGKAI SASTRA

Oleh Anwari WMK

DARI generasi ke generasi, manusia senantiasa membutuhkan sastra. Meski pun tak sepenuhnya disadari, pada derajat tertentu, kebutuhan manusia terhadap sastra bersifat mutlak dan niscaya. Itu karena, pada satu sisi, sastra menyentuh kehidupan umat manusia dengan sangat lembut. Pada lain sisi, sastra terus-menerus menyingkap esoterisme kehidupan umat manusia. Sastra hadir dalam jiwa manusia dengan keindahan narasi.

Sulit membantah kenyataan, bahwa di sepanjang perjalanan hidupnya manusia takkan sepenuhnya bebas dari penderitaan. Tak ada garansi di Planet Bumi ini manusia bakal terus hidup damai sentosa. Pada setiap lipatan waktu, selalu timbul problema human suffering. Malahan, peradaban mewujud sebagai refleksi atau renungan manusia secara sublimatif terhadap penderitaan. Artinya, penderitaan telah sedemikian rupa hadir pada proses pendewasaan manusia dalam totalitas dinamika peradaban.

Hanya saja, tidaklah gampang mengembangkan serangkaian inisiatif eksploratif agar penderitaan sepenuhnya tertransformasi menjadi salah satu elemen tegaknya peradaban. Dibutuhkan kemampuan untuk melakukan pemaknaan terhadap penderitaan. Manakala hidup ini kosong dari upaya-upaya pemaknaan, maka penderitaan hanya mengglorifikasi atau mencetuskan nuansa-nuansa apatisme dan keputusasaan. Masyarakat yang gagal memberi makna pada penderitaan adalah masyarakat yang sesungguhnya rentan untuk terus-menerus terseret ke dalam kubangan krisis. Tanpa pemaknaan, penderitaan mandek sekadar sebagai ratapan-ratapan bersenandung pilu, yang sama sekali tak inspiratif.

Sastra, ternyata, merupakan pilar humaniora yang di dalamnya termaktub pemaknaan terhadap penderitaan. Melalui sastra, manusia menyelami penderitaan hingga ke akar-akarnya, tanpa harus terjebak ke dalam pusaran jiwa yang hanya berlumur kecengengan. Sejurus dengan itu, penderitaan dan jalan keluar terhadap penderitaan dinarasikan oleh karya-karya sastra melalui keindahan kata-kata. Tragedi demi tragedi yang menohok eksistensi umat manusia lalu terucapkan dengan penuh kewibawaan, penuh karakter. Betapa dengan sastra, penderitaan umat manusia tertorehkan sebagai dialektika jiwa yang begitu mempesona.

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah keseluruhan realitas hidup umat manusia sepenuhnya berbingkai sastra? Apa yang seharusnya dilakukan agar kehidupan termaknai seluruh hakikatnya melalui sastra? Apakah institusi-institusi pendidikan pada berbagai tingkatan benar-benar digdaya menggiring umat manusia menjadi berkarakter melalui terbentuknya kehidupan berbingkai sastra?

Sampai kapan pun, institusi-institusi pendidikan berpeluang besar mengarahkan kehidupan umat manusia agar sungguh-sungguh berbingkai sastra. Didukung oleh proses-proses pembelajaran yang berlangsung secara formal, justru memungkinkan dunia pendidikan berfungsi secara signifikan sebagai ladang subur persemaian sastra. Secara prinsip, dunia pendidikan sengaja membentuk kompetensi penguasaan sastra di kalangan peserta didik. Dalam konteks ini, pembelajaran tentang sastra dikait-hubungkan dengan seluruh mata pelajaran. Setiap mata pelajaran ditemukan celah-celahnya untuk memasukkan substansi sastra.

Pembelajaran tentang sastra lalu mencakup tiga aspek pokok. Pertama, membentuk tradisi kritis di kalangan guru dan murid melalui intensitas apresiasi terhadap karya-karya sastra. Kedua, memfasilitasi peserta didik yang memang berhasrat menciptan karya-karya sastra. Ketiga, mengukuhkan pola pembelajaran secara interdispliner dengan memasukan substansi sastra sebagai salah satu elemennya.

Jika tiga aspek pembelajaran ihwal sastra itu gagal diejawantahkan, maka dapat dipastikan dunia pendidikan jauh panggang dari api dalam hal berperan aktif memformat kehidupan umat manusia agar berbingkai sastra. Bukan saja kemudian sastra terus-menerus dipersepsi secara sempit semata sebagai bagian dari pelajaran bahasa. Lebih tragis lagi dari itu sastra dipersesi sebagai teks dan narasi nirmakna, tanpa makna. Hingga di sini lalu tampak adanya keanehan, betapa sastra diterbengkalaikan kapasitasnya dalam memberikan pemaknaan terhadap penderitaan umat manusia.[]

Friday, August 2, 2013

Kekuasaan Politik dan Ilmu Pengetahuan

KEKUASAAN POLITIK DAN ILMU PENGETAHUAN

Oleh Anwari WMK

Realitas hidup umat manusia pada berbagai durasi waktu, kurun dan zaman, sesungguhnya terus-menerus diwarnai oleh penonjolan peran dan fungsi ilmu pengetahuan. Hayat umat manusia tiada henti memosisikan secara terhormat ilmu pengetahuan sebagai faktor fundamental terciptanya kemuliaan. Persis sebagaimana termaktup dalam pandangan umum masyarakat luas, bahwa dengan berilmu pengetahuan seorang manusia menapak tangga kemuliaan.

Terlebih lagi, tatkala muncul teknologi baru dan instrumentasi mutakhir yang terbukti canggih dan bahkan super canggih, jelas semakin tebal keyakinan umat manusia bahwa progresivitas senantiasa lahir, tumbuh dan berkembang dari rahim ilmu pengetahuan.

Di bawah sadar manusia lalu muncul kesimpulan yang bersifat generik, bahwa sehebat apapun teknologi dan instrumentasi baru yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, semuanya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan. Kemunculan bangsa-bangsa dan negeri-negeri terhormat di muka Bumi juga dideterminasi oleh kapasitas genuine rakyatnya dalam hal penguasaan secara mumpuni ilmu pengetahuan.

Namun demikiaan, catatan lain tak mungkin diabaikan. Bahwa, ilmu pengetahuan sangat terbuka dimanfaatkan oleh siapa pun dan untuk tujuan apa pun. Itulah mengapa, dalam aspek aksiologi, ilmu pengetahuan senantiasa diperhadapkan dengan masalah-masalah moral dan etik. Pendayagunaan ilmu pengetahuan tak selalu sejalan dengan cita-cita luhur tegaknya humanisme.

Manusia dengan mecenderungan buruk menghalalkan segala acara asal tujuan tercapai, justru teraselerasikan dengan memanfaatkan secara lancung ilmu pengetahuan. Penggunaan secara masif mesin pembunuh masal, misalnya, dalam konteks perkembangan teknologi benar-benar lahir dari rahim ilmu pengetahuan. Dalam konteks persoalan ini pula kita sesungguhnya diperhadapkan dengan sisi gelap dan sisi buruk ilmu pengetahuan.

Sebagaimana kemudian tertabalkan dalam Teori Kritis para filosof Mahzab Frankfurt, dengan gamblang terdedahkan kesimpulan: ilmu pengetahuan sesungguhnya tak pernah bebas nilai. Malahan, ilmu pengetahuan rentan disalahgunakan menjadi alat pemukul demi mengalahkan orang lain untuk tujuan pokok memenangkan kuasa politik, kepentingan uang dan gengsi. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa salah satu faktor penentu keberlanjutan kuasa imperialisme di dunia hingga dewasa ini dimungkinkan oleh upaya sistematis penyalahgunaan ilmu pengetahuan.

Walau semula idealitas ilmu pengetahuan diagungkan sebagai dasar terciptanya kemuliaan hidup umat manusia, pada akhirnya ilmu pengetahuan terbelokkan sekadar menjadi "belati" bagi terbunuhnya peradaban adiluhung yang senantiasa menuntut tumbal pengorbanan. Jika pada mulanya ilmu pengetahuan berwajah malaikat, justru pada akhirnya menyerigai kehidupan umat manusia dengan laku gerombolan iblis.

Mengingat ilmu pengetahuan sangatlah rentan disalahgunakan untuk menghancur leburkan kemanusiaan melalui persenyawaannya dengan kekuasaan politik, maka sudah saatnya bagi dunia pendidikan memahami problema fundamental kemanusiaan, persis sebagaimana tertangkap dalam sorotan Teori Kritis Mahzab Frankfurt.

Dalam hal ini, dunia pendidikan dituntut jeli memahami sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan. Metode paling tepat dalam hal menyingkapkan sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan itu adalah mencari saling hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan politik. Seberapa dekat atau seberapa jauh hubungan antara kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan, sejatinya dijadikan penanda untuk mendeteksi sepenuhnya perihal ada tidaknya sisi gelap ilmu pengetahuan.

Memang, mutlak diakui, bahwa tak seluruh kekuasaan politik beroperasi secara lancung dengan menumbuh suburkan upaya-upaya sengaja penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Kekuasaan politik yang konsisten mewujudkan keadilan, justru mendayagunakan ilmu pengetahuan demi menjunjung tinggi kemanusiaan atau kemuliaan manusia. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan benar-benar hadir dengan membawa serta cahaya terang benderang kemanusiaan. Bukan saja ilmu pengetahuan  berkedudukan sebagai sumber pencerahan bagi umat manusia, bahkan lalu terdedahkan sebagai solusi masalah-masalah bersama umat manusia.

Akan tetapi sebaliknya, kekuasaan politik yang bengis dan imperialistik merupakan penyebab utama timbulnya problematika penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Sebab, dengan tegaknya kekuasaan politik yang bengis maka dengan sendirinya kehidupan bersama dipandu oleh feodalisme. Celakanya lagi, feodalisme menggiring kekuasaan politik sepenuhnya berwatak pragmatik dan koruptif.

Sejatinya dunia pendidikan menyadari kenyataan buruk ini. Pemahaman dunia pendidikan sebaiknya menyentuh aspek paling inti dari problematika kemanusiaan di masa kini justru dalam hubungannya dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Bahwa bagi kekuasaan politik berwatak bengis-imperialistik, ilmu pengetahuan didayagunakan secara banal hanya untuk melahirkan keburukan yang dampak destruktifnya dirasakan masyarakat secara serta merta.

Hanya saja, dunia pendidikan masih jauh panggang dari api memenuhi imperatif ini akibat compang-campingnya berbagai kebijakan pendidikan di tingkat nasional.[]

Thursday, May 2, 2013

Pendidikan, Kebudayaan dan Humanisme

PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN DAN HUMANISME

Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

MENGACU pada tinjauan holistisisme-filosofis, maka pendidikan, kebudayaan dan humanisme berada dalam satu kesatuan makna. Baik pendidikan, kebudayaan maupun humanisme tak dapat dipisahkan satu sama lain. Proses-proses pendidikan sekaligus merupakan proses kebudayaan yang potensial menumbuh kembangkan kesadaran humanisme. Maka, kesalahan besar jika pendidikan terpisahkan dari kebudayaan dan humanisme. Bahkan, pendidikanlah yang sejatinya menyembuhkan penyakit-penyakit kebudayaan dan patologi kemanusiaan.

Sebagaimana diketahui, pendidikan merupakan proses pengubahan sikap manusia, komunitas dan masyarakat. Dalam pengertiaannya yang sederhana, inilah dimensi sisiologis pendidikan. Tujuan pokok dari pengubahan sikap itu adalah menghantarkan manusia, komunitas dan masyarakat agar mampu menggapai fase dewasa, supaya tidak merosot menuju fase kebinatangan. Pada dasarnya, beragam format pengajaran dan pelatihan dimaksudkan untuk mengefektifkan fungsi pendidikan dalam usaha tak kenal henti mendewasakan manusia, komunitas, dan masyarakat. Itulah mengapa, umat manusia di sepanjang zaman terus-menerus membutuhkan pendidikan.

Dalam perspektif antropologi, kebudayaan adalah totalitas pengetahuan dan pengalaman manusia yang terakumulasi sejalan dengan keberadaannya sebagai mahluk sosial. Dengan kebudayaan berarti terdapat penegasan, bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang konstruksi eksistensialnya dilandaskan pada akumulasi pengetahuan dan pengalaman. Dengan mendayagunakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman itu, maka manusia memiliki kapasitas untuk dengan saksama memahami hakikat lingkungan, kepelikan dan tantangan lingkungan. Juga dengan akumulasi pengetahuan dan pengalaman, tersedia bahan-bahan untuk keperluan menyusun pedoman tingkah laku. Sebagai pendekatan untuk pemecahan masalah, kebudayaan memungkinkan manusia mampu memahami dirinya sendiri.

Humanisme adalah paham yang mengasumsikan mahluk manusia sebagai dimensi paling penting dalam keseluruhan telaah berlandaskan ilmu pengetahuaan. Deskrispsi dan penjelasan tentang manusia adalah aspek paling pokok dari seluruh substansi yang termaktub dalam ilmu pengetahuan. Perhormatan terhadap ilmu pengetahuan sama dan sebangun maknanya dengan penghormatan terhadap manusia. Ilmu pengetahuan diajarkan untuk mempertajam rasa dan perasaan kemanusiaan. Sehingga dengan demikian, toleransi terhadadap perkembangan illmu pengetahuan mengacu pada tak terlukainya humanisme.

Manakala direnungkan secara serius, uraian di atas mendedahkan hubungan yang tak terpisahkan antara pendidikan, kebudayaan dan humanisme. Skema yang terbentuk oleh hubungan tersebut secara keseluruhan berkaitan erat dengan eksistensi manusia. Pendidikan mendewasakan manusia, kebudayaan memperkuat pemahaman manusia terhadap makna hidup, dan humanisme meniscayakan hayat manusia diperlakukan sebagai faktor penting dari segala telaah atau kajian ilmu pengetahuan. Hubungan tiga aspek ini benar-benar saling melengkapi. Bahkan, pendidikan yang berwibawa membawa serta pengajaran dan pelatihan untuk mempertajam pemahaman terhadap kebudayaan dan humanisme.

Masalahnya, hubungan yang niscaya ini tak selalu terakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pendidikn nasional. Tak ada upaya sungguh-sungguh pada tingkat kebijakan untuk merancang integrasi segitiga pendidikan-kebudayaan-humanisme. Kebijakan pendidikan nasional bahkan kian menjauh dari dimensi kebudayaan dan semakin terasing dari humanisme. Contoh konkretnya adalah Ujian Nasional, yang tanpa henti mencetuskan kontroversi. Ujian Nasional merupakan satu model evaluasi pendidikan yang tak relevan untuk keperluan penguatan makna hidup dan untuk memahkotai manusia sebagai intisari telaah ilmu pengetahuan.

Dalam tinjauan holistisisme-filosofis, sesungguhnya sangatlah jelas keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan dan humanisme. Inilah keterkaitan yang mengondisikan pendidikan bercorak kultural dan sekaligus humanistik. Inilah keterkaitan yang bersifat aksiomatik. Tapi produksi dan reproduksi kebijakan pendidikan nasional tak selalu memberi garansi untuk mencerap secara cerdas hakikat keterkaitan tiga hal tersebut. Para perancang kebijakan pendidikan nasional bukanlah figur-figur protagonis yang paham filosofi kebudayaan dan humanisme.[]

Wednesday, May 1, 2013

Sains Menyelamatkan Demokrasi

SAINS MENYELAMATKAN DEMOKRASI

Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

MAMPUKAH sains menyelamatkan demokrasi? Bagi sebagian orang, pertanyaan ini terkesan absurd. Tapi, manakala dipikirkan dengan sungguh-sungguh, sains merupakan salah satu pilar dalam hayat umat manusia yang mampu turut serta mengatasi krisis demokrasi. Dan sebagaimana diketahui, krisis demokrasi bukan saja berarti ketiadaan demokrasi dalam realitas hidup negara-bangsa. Krisis demokrasi juga muncul tanpa bisa dielakkan akibat tidak efektifnya sistem politik [yang semula ditengarai demokratis] demi terwujudnya kemaslahatan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Persis sebagaimana terjadi di Indonesia dewasa ini, krisis demokrasi benar-benar menemukan aksentuasinya serta faktualitasnya dalam kancah kompetisi politik. Pada berbagai lini kekuasaan politik, mengemuka pola kompetisi liberalistik. Patologi korupsi dan rapuhnya hukum oleh bersimaharajalelanya ketidakadilan justru mendorong kompetisi bercorak liberalistik itu hanya melahirkan aksi-aksi politik anti-kerakyatan. Publik tak mendapatkan manfaat signifikan dari praksis demokrasi. Tak pelak lagi, inilah krisis demokrasi yang begitu terang benderang di Indonesia kini.

Pertanyaannya, mungkinkah krisis demokrasi dapat diakhiri? Jawaban terhadap pertanyaan ini memiliki kaitan konteks dengan sains.

Apa yang bisa kita garisbawahi adalah sebuah prinsip. Bahwa tatkala demokrasi dilanda krisis, maka hal fundamental yang mendesak dikaji ulang adalah hubungan segitiga negara-masyarakat-perekomonian. Jika dalam hubungan segitiga tersebut negara tidak obyektif, maka tendensi yang tak terelakkan adalah masyarakat yang tersudutkan secara telak sebagai tumbal pengorbanan kepentingan modal aktor-aktor penggerak perekonomian. Realitas buruk ini tengah berlangsung di Indonesia dalam bentuknya yang amat sangat menonjol.

Pada satu sisi, apararur pemerintah bertindak sebagai makelar dalam jejaring hubungan antara negara dan masyarakat atau dalam rentang hubungan antara negara dan aktor-aktor ekonomi. Pada lain pihak, dari ranah negara, aparatur-aparatur pemerintahan memetik keuntungan melalui jalan korupsi, dan dari masyarakat atau aktor ekonomi aparatur pemerintah meraih keuntungan melalui jalan pungli. Itulah mengapa, reformasi birokrasi publik meniscayakan terjadinya transformasi aparatur pemerintahan, dari yang sebelumnya berwatak broker berubah menjadi berjiwa agensi. 

Situasi faktual yang sangat buruk tersebut kini mendesak dikoreksi secara sungguh-sungguh. Terlebih lagi, kecenderungan baru yang melanda berbagai aspek kehidupan adalah semakin determinatifnya peran sains  dan teknologi. Diakui atau tidak, perkembangan baru dalam kancah kehidupan masyarakat maupun dalam dinamika perekonomian justru malah menuntut pemanfaatan secara lebih besar sains dan teknologi. Hingga kemudian sampai pada satu titik, di mana telah mulai terbentuk formasi knowledge society dan knowledge economy. Pertanyaan kritikalnya: Bagaimana mungkin knowledge society dan knowledge economy terakselerasikan keberadaannya manakala masih jua bergemuruh krisis demokrasi?

Sesungguhnya, isu sains menyelamatkan demokrasi memiliki kejelasan hakikat dan logika. Terutama untuk keperluan menyambut hadirnya knowledge society dan knowledge economy, sains meniscayakan penyelamatan demokrasi dari ancaman krisis yang kian parah.

Pertama, watak dasar sains adalah kejujuran dan obyektivitas. Lompatan besar kemajuan sains mempersyaratkan kejujuran dan obyektivitas. Sebab, hanya dengan kejujuran dan obyektivitas itulah maka inisiatif-inisiatif baru dalam dialektika perkembangan sains menghasilkan output yang otentik. Kedua, sains berkembang dengan didukung oleh pola kerja sistemik yang menjunjung tinggi koherensi dan holistisisme.

Baik kejujuran, obyektivitas, koherensi maupun holistisisme mendesak ditumbuh kembangkan sebagai pijakan dasar agar sains bermanfaat maksimal mendukung terbentuknya orde kehidupan knowledge society dan knowledge economy. Praksis demokrasi dituntut mampu menyesuaikan diri dengan prinsip sains.

Hanya saja, upaya ke arah ini turut ditentukan oleh proses edukasi sains di dunia pendidikan.[]

Wednesday, April 24, 2013

Solusi Edukatif Kebangsaan

SOLUSI EDUKATIF KEBANGSAAN

Oleh
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

SEBAGAI bangsa, ternyata Indonesia dibelit oleh begitu banyak masalah. Dari dunia persepakbolaan hingga politik kekuasaan, belitan masalah itu pun rumit tak berujung pangkal. Seakan, Indonesia merupakan ensiklopedi masalah-masalah. Sehingga, tak mengada-ada jika lalu muncul gagasan untuk menemukan solusi alternatif dengan berpijak pada spirit edukatif. Dalam konteks ini, sengaja dilakukan upaya penelisikan: Bagaimana dunia pendidikan dilibatkan secara serius untuk turut serta mengatasi masalah kebangsaan.

Bagaimana pun, pendidikan merupakan sebuah ranah kehidupan yang masih bening saat menyimak dan menyibak kemelut kebangsaan. Meski pun di sana-sini bertaburan hipokritas, toh dunia pendidikan masih lebih jernih mencerna masalah-masalah kebangsaan. Pendidikan jelas merupakan mercusuar optimisme yang potensial mengubah masalah kebangsaan menjadi tantangan yang musti dituntaskan.

Hal penting yang patut dicatat jika pendidikan sengaja diperlakukan sebagai bagian dari solusi masalah kebangsaan adalah perspektifnya yang spesifik. Manakala disimak berdasarkan perspektif edukatif, maka masalah kebangsaan terbagi menjadi dua kategori pokok.

Pertama, masalah kebangsaan terkait dengan rendahnya daya saing nasional dalam era globalisasi kini. Padahal, implikasi serius yang ditimbulkan oleh rendahnya daya saing nasional adalah memburuknya kesejahteraan rakyat. Di tengah hantaman globalisasi yang tak mengenal belas kasihan, rakyat justru tak memiliki pegangan untuk mempertahankan eksistensinya. Ketiadaan daya saing sama dan sebangun maknanya dengan pemunahan secara pelan perlahan eksistensi rakyat.

Kedua, masalah kebangsaan terkait erat dengan format kebijakan negara. Tak dapat dipungkiri, kebijakan negara tidak aspiratif manakala disimak berdasarkan sudut pandang kedaulatan rakyat. Kebijakan demi kebijakan terus-menerus diproduksi oleh kuasa politik pada berbagai lini. Tapi tragisnya, kebijakan itu tak berpihak pada rakyat banyak. Konyolnya lagi, kebijakan-kebijakan dilahirkan semata sebagai kelanjutan logis dari kepentingan elite-elite politik. Ini merupakan akibat langsung dari realisme politik kontemporer yang sepenuhnya bercorak transaksional. Itulah sesungguhnya politik "wani piro".

Dengan memerhatikan dua kategori masalah tersebut, maka dunia pendidikan pun mampu meneropong potensialitas kebangsaan yang terserak ke berbagai arah. Potensialitas kebangsaan dimaksud adalah beragamnya kelompok masyarakat madani yang menguasai situasi riil kemasyarakatan. Potensilitas kebangsaan yang lain adalah masih terpeliharanya spirit pengorbanan dalam hati sanubari rakyat bangak.

Bertitik tolak dari semua itu, maka upaya saksama yang lantas niscaya dilakukan dunia pendidikan adalah mengembangkan berbagai macam kerangka edukasi tentang politik representasi. Tujuannya, agar formasi keanggotaan parlemen diisi oleh elemen-elemen potensialitas kebangsaan, yang memang diupayakan oleh dunia pendidikan. Substansi pendidikan diberi bobot yang lebih besar untuk turut serta melahirkan figur-figur mumpuni yang kelak berkiprah di parlemen. Proses edukasi lalu diwarnai oleh menguatnya pendidikan kebangsaan.

Selain itu, niscaya bagi dunia pendidikan mengajarkan seluk beluk kebijakan negara yang mengacu pada kebenaran hakiki. Dengan "kebenaran hakiki" berarti, kebijakan negara dirumuskan untuk tujuan pokok agar postur dan sukma kebijakan negara sepenuhnya responsif dan adaptif terhadap aspirasi publik. Maka, harus lahir dan terbentuk apa yang disebut "kebenaran aspiratif publik".

Dengan metode penyampaian secara sederhana, mudah dimengerti dan gampang dicerna, maka berbagai hal yang dikemukakan di atas optimis dapat diwujudkan dalam ranah pendidikan. Jika praksis pendidikan benar-benar berwatak solutif seperti dikemukakan di atas, maka itulah sesungguhnya pendidikan karakter. Artinya, pendidikan membentuk manusia-manusia berkarakter dalam resonansinya dengan solusi masalah kebangsaan.

Tantangan berikutnya lalu kembali pada dunia pendidikan itu sendiri. Bersediakah dunia pendidikan menjawab tantangan ini?[]

Tiga Sukma Solidaritas

TIGA SUKMA SOLIDARITAS

Oleh
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

AKSI kekekerasan tak habis-habisnya berlangsung di Indonesia, dan terus-menerus mewarnai ruang publik, serta dicerna oleh jutaan pemirsa televisi, pendengar radio, dan pembaca surat kabar. Bahkan atas nama solidaritas corp, kekerasan didentumkan menjadi peristiwa tragis yang berujung kematian dan pengorbanan nyawa. Begitulah seperti yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Belasan anggota Kopasus datang di malam hari, dan lalu membunuh empat narapida dari kalangan preman, sebagai aksi balas dendam. Sebab, sebelum peristiwa tersebut tergelar, seorang anggota Kopasus terbunuh oleh pengeroyokan empat orang preman itu.

Bercermin pada peristiwa ini, solidaritas ternyata mustahil bebas nilai. Aksi dengan orientasi apa pun bisa menggunakan solidaritas sebagai dasar pijakan. Tindakan dengan pandangan dunia apa pun dengan sangat mudah mengeksploitasi solidaritas. Bukan hanya altruisme, kebengisan pun amat sangat terbuka dirajut menjadi aksi kolektif dengan mengatasnamakan solidaritas. Maka, penting untuk kemudian menyuguhkan sebuah referensi kesadaran bagi dunia pendidikan, demi mendudukkan makna hakiki solidaritas dalam realitas hidup kolektif.

Sampai kapan pun, manusia sebagai mahluk sosial senantiasa membutuhkan solidaritas. Bermakna tidaknya hidup umat manusia, turut ditentukan oleh solidaritas. Jika solidaritas berada dalam satu titik kecenderungan untuk hanya memperluas dan memperdalam kebengisan, maka solidaritas mengikis habis segenap makna kebajikan dalam realitas hidup umat manusia. Sebaliknya jika solidaritas memperkukuh kemaslahatan, maka hidup umat manusia bermakna. Itulah mengapa, ada tiga sukma solidaritas.

Pertama, solidaritas berkaitan erat dengan pengerahan talenta-talenta. Sebagaimana diketahui, talenta merupakan bakat bawaan individual sejak sang manusia dilahirkan ke muka Bumi. Talenta merupakan semesta potensialitas yang inherent dalam diri manusia, serta berkedudukan sebagai faktor personal yang memang memungkinkan sang manusia mampu memberi kontribusi signifikan terhadap tegaknya peradaban adiluhung. Sejatinya, solidaritas dirajut untuk tujuan mulia pengerahan talenta-talenta. Solidaritas sengaja diperlakukan sebagai corak respons untuk melempangkan jalan seluas-luasnya demi teraktualisasikannya talenta-talenta.

Kedua, solidaritas dirancang bangun meraih keunggulan dalam bidang teknologi. Solidaritas untuk keperluan ini mengacu pada filosofi, bahwa teknologi merupakan dimensi yang bertautan erat dengan penerapan ilmu pengetahuan. Dalam teknologi termaktub metode ilmiah yang dimaksudkan untuk menggapai tujuan-tujuan mulia hidup umat manusia. Teknologi merupakan sarana agar manusia mampu meraih taraf hidup bermartabat. Maka, solidaritas untuk meraih kemajuan teknologi merupakan keharusan yang niscaya.

Ketiga, solidaritas dikerahkan untuk tujuan memperkukuh toleransi. Inilah imperatif yang memandang kemajemukan sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan karena itu pula kemajemukan diterima secara lapang dada dengan semangat dan kesadaran berwatak toleran. Kemajemukan dipersepsi secara sadar sebagai mosaik sosio-kultural agar hidup manusia benar-benar diwarnai oleh upaya saling memberi dan saling menerima puspa ragam kebajikan. Sejatinya, kemajemukan inilah yang sungguh-sungguh diperjuangkan keberadaannya, melalui solidaritas. Dengan tujuan memperkuat toleransi, solidaritas diperlakukan sebagai sikap hidup yang memberi makna kepada kemanusiaan.

Baik talenta, teknologi maupun toleransi (T3) merupakan satu kesatuan konteks yang dapat dikerahkan untuk membentuk satu model solidaritas bagi tumbuhnya altruisme. Sejalan dengan dinamika kehidupan abad XXI, T3 ini niscaya untuk saling bersenyawa satu sama lain (Richard Florida, The Rise of Creative Class, 2002). Dunia pendidikan merupakan ranah pembelajaran untuk menemukan point-point persenyawaan T3. Pada upaya persenyawan T3 itulah, energi kreatif manusia dipalingkan dari kekerasan. Maka, dunia pendidikan dituntut sepenuhnya mampu membangun solidaritas kemanusiaan yang berpijak pada persenyawaan T3.[]

Tuesday, April 23, 2013

Substansi, Bukan Simbol

SUBSTANSI, BUKAN SIMBOL

Oleh Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Jubilee School, Sunter, Jakarta

HINGGA kini, tak habis-habisnya ruang publik disuguhi pemberitaan pers tentang penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara. Paling tidak sejak era pasca-Orde Baru, penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara tersebut telah sedemikian rupa mencuat sebagai fenomena. Para pejabat negara tampak hebat dan dahsyat saat berada di atas panggung penerimaan gelar honoris causa. Ruang publik benar-benar diwarnai tontonan betapa sempurnanya eksistensi pejabat negara itu setelah meraih gelar honoris causa.

Tapi, di sini, mencuat problema eksistensial, yaitu seberapa jelas dan konkret hubungan antara gelar honoris causa pada satu sisi dan karya-karya akademik yang maslahat bagi kehidupan pada lain sisi. Apa yang terjadi jika para pejabat penyandang gelar honoris causa itu ternyata tak menyumbang apa-apa terhadap besarnya kebutuhan lahirnya karya-karya akademik yang maslahat? Bagaimana jika ternyata gelar honoris causa itu hanyalah simbolik belaka?

Tentu saja, tak ada yang keliru dengan simbol-simbol. Sebagai homo kultural, manusia takkan pernah bisa lari dari simbol-simbol. Sejalan dengan sensibilitas kultural, manusia membutuhkan simbol-simbol. Dalam tilikan kultural, teridentifikasi begitu banyaknya satuan-satuan simbol yang dibutuhkan sebagai penanda eksistensi manusia. Cuma saja, sekali pun tergolong mahal, hakikat dari simbol itu hanyalah pelengkap eksistensi semata. Tak lebih dan tak kurang.

Secara kategoris, simbol senantiasa ekuivalen dengan bentuk, dan substansi analog dengan isi. Masalahnya kini, muncul desakan untuk dengan segera melakukan transformasi kebangsaan. Dalam perubahan-perubahan besar abad XXI, para pejabat negara nyata-nyata diperhadapkan dengan pilihan logis-rasional. Bagaimana eksistensi mereka mencuat ke permukaan dengan lebih mengedepankan substansi ketimbang simbol. Eksistensi pejabat negara pada abad XXI, lebih terkait dengan isi ketimbang bentuk.

Pada akhirnya kita tak bisa mengelak dari tuntutan-tuntutan logis. Lebih pentingnya isi ketimbang bentuk sesungguhnya berkaitan erat dengan keniscayaan Indonesia sebagai bangsa besar yang seharusnya mandiri. Besarnya kekayaan sumber daya alam dan besarnya jumlah penduduk merupakan faktor unggulan yang memungkinkan Indonesia sepenuhnya mandiri sebagai bangsa. Tapi kita tahu, selama ini faktor sumber daya alam dan demografi tak terkelola baik. Bahkan, dua faktor itu terbengkalai semrawut hingga lalu dirasakan sebagai kutukan dan beban.

Kuasa politik feodalistik merupakan penyebab pokok terbengkalainya dua faktor unggulan itu. Pada satu sisi, kuasa politik feodalistik terus-terus memosisikan rakyat semata sebagai pelengkap penderita pada keseluruhan relasi kekuasaan. Pada lain sisi, kuasa politik feodalistik lebih merasa absah manakala digdaya tampil di hadapan publik dengan mengutamakan simbol-simbol ketimbang substansi. Pelayanan publik yang tak pernah mumpuni justru lalu membuncah menjadi situasi umum yang tak memungkinkan pejabat negara trengginas dan cekatan melayani rakyat meraih kesejahteraan.

Implikasi strategisnya tampak mencolok pada tak adanya kerangka dan skema inovasi. Tata kelola masyarakat, pemerintahan dan perekonomian tak tersentuh inovasi. Kalau pun makna penting inovasi terus dipidatokan, inovasi ternyata berjalan tanpa landasan filosofi dan tanpa kejelasan arah menggapai kesejahteraan rakyat. Inovasi pun terjebak ke dalam orientasi simbolistik yang sama sekali tak substantif.

Situasi tak menguntungkan itu diperparah oleh timbulnya fenomena honoris causa. Para pejabat negara penerima gelar honoris causa sudah merasa cukup dengan gempitanya seremoni penganugerahan. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, misalnya, selama sembilan tahun terakhir telah menerima tujuh gelar honoris causa. Tapi sayang seribu sayang, sang presiden masih terjebak ke dalam pusaran simbolisme.[]

Pasca-UN Karut-Marut

PASCA-UN KARUT MARUT

Oleh Anwari WMK

TAK ada satu pihak pun mampu membantah kenyataan buruk yang tengah menggelayuti jagad pendidikan nasional pada tahun 2013 ini. Bahwa sesungguhnya, karut-marut mewarnai Ujian Nasional (UN). Heboh di berbagai sudut Nusantara tercetus dan dirasakan publik sebagai bencana tersebab kebijakan aneh. Peserta didik tersiksa oleh keterlambatan distribusi, kekurangan jumlah dan ketertukaran soal UN. Para orangtua resah menatap anaknya gundah, dan lantas terhembuskan sebagai isu nasional media massa. Pada belantika media sosial Facebook maupun Twitter kritik dan sumpah serapah berhamburan. Tapi anehnya, di televisi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tampil dengan wajah tanpa dosa. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.

Tanpa harus menggunakan kerangka teori rumit berbelit-belit, karut-marut UN dapat dianalisis dengan mudah. Akar masalahnya berkelindan dengan problema tata kelola pengadaan dan distribusi soal UN. Secara geografis, Indonesia negeri kepulauan dengan bentangan wilayah luas, dari Sabang hingga Merauke. Dengan jadwal pelaksanaan serentak, kebutuhan terhadap soal dan jawaban UN berada dalam magnitude besar. Secara demikian berarti, produksi soal dan lembaran jawaban lebih masuk akal manakala tak terkonsentrasi semata di Pulau Jawa. Wilayah-wilayah luas terbentang di luar Pulau Jawa semestinya diberi wewenang mencetak serta mendistribusikan soal dan lembar jawaban UN. Aneh bin ajaib, imperatif ini diabaikan.

Manakala ditelusuri lebih lanjut mengapa imperatif ini diabaikan, maka jawabnya juga jelas dan tegas. Inilah konsekuensi logis dari politik pendidikan nasional yang sejak lama  terdistorsi arogansi dan orientasi proyek. Sudah mafhum diketahui publik, arogansi dan orientasi proyek itu bersilang sengkarut dengan keberadaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dengan arogansi, kebijakan-kebijakan pendidikan tak dirancang berbasis riset secara komprehensif-filosofis. Dengan orientasi proyek, pelayanan pendidikan disulap menjadi perburuan rente, demi menggerus anggaran negara.

Tak berlebihan jika kemudian dikatakan, bahwa para pengambil keputusan di Kemendikbud sesungguhnya kosong melompong dari keluhuran jiwa humanisme untuk kemaslahatan anak-anak bangsa di berbagai pelosok negeri. Kepiawaian melontarkan makna penting pendidikan di ruang publik, tak lebih hanyalah retorika belaka. Dengan berlindung di balik kemuflase kebijakan pendidikan nasional, peserta didik, guru, dan orangtua murid dipersepsi secara sempit sebagai obyek eksploitasi demi terus bertahannya arogansi dan orientasi proyek. Tanpa bisa dielakkan, karut-marut perhelatan akbar semacam UN diekspresikan sebagai problematika remeh-temeh.

Namun dari sini pula lalu muncul pertanyaan lain yang tak kalah kritikalnya: Bagaimana masa depan evaluasi pendidikan nasional? Dengan bercermin pada UN 2013 yang terdiatorsi karut-marut, bagaimana cetak biru evaluasi pendidikan nasional yang relevan dengan tantangan zaman baru?

Artikel pendek ini sama sekali tak berpretensi mengusulkan penghapusan evaluasi pendidikan nasional. Justru, artikel pendek ini mengusung argumentasi tentang pentingnya evaluasi pendidikan nasional. Hanya saja, format dan filosofi evaluasi tesebut bukan epigon, bukan taklid, dari model evaluasi yang dirancang bangun Kemendikbud selama ini. Inilah evaluasi yang bersifat terobosan, di dalamnya terkandung deteksi kualitas pendidikan untuk keperluan menjawab tantangan baru terbentuknya masyarakat berilmu pengetahuan.

Evaluasi ini tak memosisikan pendidikan mengekor di belakang haluan kemajuan ekonomi dan industri. Evaluasi justru memposisikan pendidikan berfungsi sebagai lokomotif kemajuan ekonomi dan industri. Cetak biru ekonomi dan industri berdaya saing tinggi diperlakukan sebagai bahan pembelajaran di dunia pendidikan.

Evaluasi dilaksanakan justru untuk menjadikan pendidikan inspirasi kejayaan bangsa. Inilah evaluasi yang lepas dari politik pendidikan kepala batu.[]

Monday, April 22, 2013

Kehidupan Berbingkai Sastra

KEHIDUPAN BERBINGKAI SASTRA

Oleh Anwari WMK

DARI generasi ke generasi, manusia senantiasa membutuhkan sastra. Meski pun tak sepenuhnya disadari, pada derajat tertentu, kebutuhan manusia terhadap sastra bersifat mutlak dan niscaya. Itu karena, pada satu sisi, sastra menyentuh kehidupan umat manusia dengan sangat lembut. Pada lain sisi, sastra terus-menerus menyingkap esoterisme kehidupan umat manusia. Sastra hadir dalam jiwa manusia dengan keindahan narasi.

Sulit membantah kenyataan, bahwa di sepanjang perjalanan hidupnya manusia takkan sepenuhnya bebas dari penderitaan. Tak ada garansi di Planet Bumi ini manusia bakal terus hidup damai sentosa. Pada setiap lipatan waktu, selalu timbul problema human suffering. Malahan, peradaban mewujud sebagai refleksi atau renungan manusia secara sublimatif terhadap penderitaan. Artinya, penderitaan telah sedemikian rupa hadir pada proses pendewasaan manusia dalam totalitas dinamika peradaban.

Hanya saja, tidaklah gampang mengembangkan serangkaian inisiatif eksploratif agar penderitaan sepenuhnya tertransformasi menjadi salah satu elemen tegaknya peradaban. Dibutuhkan kemampuan untuk melakukan pemaknaan terhadap penderitaan. Manakala hidup ini kosong dari upaya-upaya pemaknaan, maka penderitaan hanya mengglorifikasi atau mencetuskan nuansa-nuansa apatisme dan keputusasaan. Masyarakat yang gagal memberi makna pada penderitaan adalah masyarakat yang sesungguhnya rentan untuk terus-menerus terseret ke dalam kubangan krisis. Tanpa pemaknaan, penderitaan mandek sekadar sebagai ratapan-ratapan bersenandung pilu, yang sama sekali tak inspiratif.

Sastra, ternyata, merupakan pilar humaniora yang di dalamnya termaktub pemaknaan terhadap penderitaan. Melalui sastra, manusia menyelami penderitaan hingga ke akar-akarnya, tanpa harus terjebak ke dalam pusaran jiwa yang hanya berlumur kecengengan. Sejurus dengan itu, penderitaan dan jalan keluar terhadap penderitaan dinarasikan oleh karya-karya sastra melalui keindahan kata-kata. Tragedi demi tragedi yang menohok eksistensi umat manusia lalu terucapkan dengan penuh kewibawaan, penuh karakter. Betapa dengan sastra, penderitaan umat manusia tertorehkan sebagai dialektika jiwa yang begitu mempesona.

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah keseluruhan realitas hidup umat manusia sepenuhnya berbingkai sastra? Apa yang seharusnya dilakukan agar kehidupan termaknai seluruh hakikatnya melalui sastra? Apakah institusi-institusi pendidikan pada berbagai tingkatan benar-benar digdaya menggiring umat manusia menjadi berkarakter melalui terbentuknya kehidupan berbingkai sastra?

Sampai kapan pun, institusi-institusi pendidikan berpeluang besar mengarahkan kehidupan umat manusia agar sungguh-sungguh berbingkai sastra. Didukung oleh proses-proses pembelajaran yang berlangsung secara formal, justru memungkinkan dunia pendidikan berfungsi secara signifikan sebagai ladang subur persemaian sastra. Secara prinsip, dunia pendidikan sengaja membentuk kompetensi penguasaan sastra di kalangan peserta didik. Dalam konteks ini, pembelajaran tentang sastra dikait-hubungkan dengan seluruh mata pelajaran. Setiap mata pelajaran ditemukan celah-celahnya untuk memasukkan substansi sastra.

Pembelajaran tentang sastra lalu mencakup tiga aspek pokok. Pertama, membentuk tradisi kritis di kalangan guru dan murid melalui intensitas apresiasi terhadap karya-karya sastra. Kedua, memfasilitasi peserta didik yang memang berhasrat menciptan karya-karya sastra. Ketiga, mengukuhkan pola pembelajaran secara interdispliner dengan memasukan substansi sastra sebagai salah satu elemennya.

Jika tiga aspek pembelajaran ihwal sastra itu gagal diejawantahkan, maka dapat dipastikan dunia pendidikan jauh panggang dari api dalam hal berperan aktif memformat kehidupan umat manusia agar berbingkai sastra. Bukan saja kemudian sastra terus-menerus dipersepsi secara sempit semata sebagai bagian dari pelajaran bahasa. Lebih tragis lagi dari itu sastra dipersesi sebagai teks dan narasi nirmakna, tanpa makna. Hingga di sini lalu tampak adanya keanehan, betapa sastra diterbengkalaikan kapasitasnya dalam memberikan pemaknaan terhadap penderitaan umat manusia.[]

Thursday, April 18, 2013

Seumpama Abimanyu

SEUMPAMA ABIMANYU

DALAM lakon pewayangan, Abimanyu digambarkan sebagai kesatria sejati berusia muda. Menurut cerita pewayangan, ketokohan Abimanyu terbentuk oleh dialektika hidup yang sama sekali tak sederhana. Riwayat hidup sang kesatria muda penuh onak dan duri. Ia tidak lahir dan besar dalam suasana ketercukupan. Sejak bocah, Abimanyu hidup dalam nestapa kemiskinan.

Jelas, Abimanyu hanyalah lakon dalam cerita pewayangan. Sebagai tokoh, ia fiktif dan imajinatif. Tapi pada tokoh ini, tersembul suri tauladan yang urgen disimak secara saksama oleh dunia pendidikan. Nestapa kemiskinan tak membuat dirinya cengeng, alai dan lebai. Justru, kemiskinan menghantarkan Abimanyu pada praksis tapabrata: Menghayati makna kemiskinan demi terbentuknya pribadi berkarakter.

Kita tahu, "tapabrata" merupakan nomenklatur dalam etika Jawa yang dilakoni untuk tujuan meraih kesempurnaan jiwa. Jika boleh meminjam perspektif sisiolog Jerman Max Weber, tapabrata itu semakna dengan asketisisme. Penderitaan tersebab kemiskinan, justru membuat Abimanyu terkukuhkan sebagai seorang pribadi yang jernih menyimak kehidupan. Kemiskinan yang telah mencetuskan tapabrata atau asketisisme, menghantarkan seorang Abimanyu pada kebeningan jiwa menatap segenap pernak-pernik dunia dengan hati nurani. Sisi terang dan sisi gelap dunia lalu terdeteksi secara apa adanya.

Tatkala mulai beranjak dewasa dan kemudian tercatat sebagai prajurit sejati, Abimanyu merupakan sosok dengan kebeningan nurani yang tiada tara. Jiwanya mampu mencerna kemungkinan timbulnya prahara besar pertumpahan darah akibat perseteruan tak kunjung usai antara Kerajaan Pandawa dan Kurawa. Perang besar Pandawa versus Kurawa telah sedemikian rupa hadir sebagai narasi tentang kecamuk ambisi dan angkara murka. Dan sebagaimana terdeteksi melalui kebeningan hati nurani Abimanyu, perang besar itu merupakan simbolisme dari kebengisan manusia menghancurkan sesamanya. Kalau pun musti berpihak, Abimanyu takkan pernah lari dari gema yang berkumandang dari kedalaman hati nuraninya.

Seandainya di negeri ini hadir tokoh serupa Abimanyu, mungkin demokrasi kerakyatan lebih mudah diwujudkan. Di kelembagaan parlemen, misalnya, cukup banyak tokoh yang di kala bocah sesungguhnya bergumul dengan nestapa kemiskinan. Tapi sayangnya, kemiskinan tak terdedahkan sebagai atmosfer edukasi tapabrata. Kemiskinan di masa kecil malah mengkristalisasi ratapan jiwa dan umpatan kesadaran, bukan fase edukatif mengasah nurani. Tatkala bocah miskin itu lantas dewasa dan berhasil menorehkan namanya sebagai anggota parlemen, maka secara reflek-psikologis terkobarkan dendam pada kemiskinan masa lampau, dengan membiarkan dirinya terseret sengkarut korupsi.

Hingga kini, pendidikan nasional memang kosong dari mekanisme bagaimana menumbuhkan tapabrata sebagai etika sosial. Murid dari keluarga miskin tak ditangani berdasarkan kurikulum bercorak personal-individual, demi mengawal tumbuhnya laku tapabrata. Pendidikan nasional belum lazim dan belum terbiasa mengondisikan peserta didik berlatar belakang keluarga miskin agar mampu mengais hikmah dari kemiskinan. Pendidikan nasional bahkan gagal mendeteksi fakta-fakta buruk, bahwa tak sedikit dari anak-anak kaum miskin itu justru tumbuh dewasa dengan mental budak. Pendidikan nasional gagal mencegah terjadinya penularan dari kemiskinan harta benda merembes menjadi kemiskinan jiwa.

Sebagai bangsa, hingga ke masa depan Indonesia bakal terus diwarnai oleh nestapa kemiskinan. Tapi, absurd manakala membiarkan kaum miskin tumbuh sebagai pribadi dengan mental budak. Sebab dengan mental budak, pada akhirnya mereka rentan menghamba pada kuasa imperialistik global dan rentan pula terseret ke dalam sengkarut korupsi yang tiada tara. Untuk kaum miskin, sudah saatnya pendidikan nasional mencetak pribadi-pribadi seumpama Abimanyu.

Pertanyannya kemudian, mampukah pendidikan nasional menunaikan tugas mulia ini? Mampukah?[]

Anwari WMK

Ilmu Pengetahuan dan Kuasa Politik

ILMU PENGETAHUAN DAN KUASA POLITIK

DALAM realitas hidup umat manusia pada berbagai durasi waktu, kurun dan zaman, peran dan fungsi ilmu pengetahuan sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan diposisikan secara terhormat sebagai faktor fundamental lahirnya kemuliaan umat manusia. Pandangan umum menyebutkan, bahwa dengan berilmu maka seorang manusia menapak tangga kemuliaan. Apalagi, kemunculan teknologi baru dan instrumentasi mutakhir [yang terbukti canggih dan bahkan super canggih] senantiasa lahir, tumbuh dan berkembang dari rahim ilmu pengetahuan.

Sehebat apapun teknologi dan instrumentasi baru mempengaruhi kehidupan masyarakat, semuanya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan. Bangsa-bangsa dan negeri-negeri terhormat di dunia juga ditentukan oleh kapasitas rakyatnya menguasai secara mumpuni ilmu pengetahuan.

Sungguh pun begitu, ilmu pengetahuan terbuka dimanfaatkan oleh siapa saja dan untuk tujuan apa saja. Pada aspek aksiologi, ilmu pengetahuan diperhadapkan dengan masalah-masalah moral dan etik. Artinya, pendayagunaan ilmu pengetahuan tak selalu sejalan dengan cita-cita luhur tegaknya humanisme. Kecenderungan buruk manusia menghalalkan segala acara asal tujuan tercapai justru acapkali teraselerasikan dengan memanfaatkan secara lancung ilmu pengetahuan. Contohnya, penggunaan secara masif mesin pembunuh masal yang dalam konteks perkembangan teknologi memang lahir dari rahim ilmu pengetahuan. Pada titik persoalan ini kita sebenarnya diperhadapkan dengan sisi gelap dan sisi buruk ilmu pengetahuan.

Teori Kritis kalangan filosof Mahzab Frankfurt dengan tegas mendedahkan kesimpulan, bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya tak pernah bebas nilai. Ilmu pengetahuan rentan disalahgunakan menjadi alat pemukul mengalahkan orang lain demi memenangkan  kuasa politik, kepentingan uang dan gengsi. Itulah mengapa, salah satu faktor penentu keberlanjutan kuasa imperialisme di dunia hingga kini melalui upaya sistematis penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Jika semula ilmu pengetahuan diagungkan sebagai dasar terciptanya kemuliaan manusia, pada akhirnya terbelokkan menjadi tak lebih hanyalah "belati" di tangan pembunuh berdarah dingin yang senantiasa menuntut tumbal pengorbanan. Ilmu pengetahuan yang semula berwajah malaikat, pada akhirnya menyerigai kehidupan umat manusua dengan laku gerombolan iblis.

Dengan menyimak fakta konkret bahwa ilmu pengetahuan rentan disalahgunakan menghancur leburkan humanisme, maka sudah saatnya bagi dunia pendidikan memahami problema yang disuarakan Teori Kritis, persis sebagaimana dirumuskan oleh para filosof Mahzab Frankfurt. Dunia pendidikan dituntut jeli memahami sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan. Metode paling tepat untuk menyingkap sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan adalah mencari kaitan atau saling hubungan antara ilmu pengetahuan dan kuasa politik. Seberapa akrab hubungan antara kuasa politik dan ilmu pengetahuan, sejatinya dijadikan penanda untuk mendeteksi ada tidaknya sisi gelap ilmu pengetahuan.

Tentu saja, tidak seluruh kuasa politik beroperasi secara lancung dengan menumbuh suburkan upaya-upaya sengaja penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Kuasa politik yang konsisten mewujudkan keadilan, justru mendayagunakan ilmu pengetahuan demi menjunjung tinggi humanisme atau kemuliaan manusia. Ilmu pengetahuan dalam konteks ini benar-benar mencorong dengan membawa cahaya terang benderang kemanusiaan. Ilmu pengetahuan bukan saja berkedudukan sebagai sumber pencerahan. Ilmu pengetahuan terdedahkan sebagai solusi masalah-masalah kolektif yang tengah dihadapi umat manusia.

Tapi, kuasa politik bengis dan imperialistik merupakan penyebab utama timbulnya problema penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Sebab, realitas hidup kolektif dipandu feodalisme. Tragisnya lagi, feodalisme menggiring kuasa politik sepenuhnya pragmatik dan koruptif. Sejatinya, dunia pendidikan menyadari kenyataan buruk ini. Bahwa bagi kuasa bengis-imperialistik, ilmu pengetahuan didayagunakan hanya untuk melahirkan keburukan yang dirasakan masyarakat secara langsung.[]

Anwari WMK