Thursday, May 2, 2013

Pendidikan, Kebudayaan dan Humanisme

PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN DAN HUMANISME

Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

MENGACU pada tinjauan holistisisme-filosofis, maka pendidikan, kebudayaan dan humanisme berada dalam satu kesatuan makna. Baik pendidikan, kebudayaan maupun humanisme tak dapat dipisahkan satu sama lain. Proses-proses pendidikan sekaligus merupakan proses kebudayaan yang potensial menumbuh kembangkan kesadaran humanisme. Maka, kesalahan besar jika pendidikan terpisahkan dari kebudayaan dan humanisme. Bahkan, pendidikanlah yang sejatinya menyembuhkan penyakit-penyakit kebudayaan dan patologi kemanusiaan.

Sebagaimana diketahui, pendidikan merupakan proses pengubahan sikap manusia, komunitas dan masyarakat. Dalam pengertiaannya yang sederhana, inilah dimensi sisiologis pendidikan. Tujuan pokok dari pengubahan sikap itu adalah menghantarkan manusia, komunitas dan masyarakat agar mampu menggapai fase dewasa, supaya tidak merosot menuju fase kebinatangan. Pada dasarnya, beragam format pengajaran dan pelatihan dimaksudkan untuk mengefektifkan fungsi pendidikan dalam usaha tak kenal henti mendewasakan manusia, komunitas, dan masyarakat. Itulah mengapa, umat manusia di sepanjang zaman terus-menerus membutuhkan pendidikan.

Dalam perspektif antropologi, kebudayaan adalah totalitas pengetahuan dan pengalaman manusia yang terakumulasi sejalan dengan keberadaannya sebagai mahluk sosial. Dengan kebudayaan berarti terdapat penegasan, bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang konstruksi eksistensialnya dilandaskan pada akumulasi pengetahuan dan pengalaman. Dengan mendayagunakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman itu, maka manusia memiliki kapasitas untuk dengan saksama memahami hakikat lingkungan, kepelikan dan tantangan lingkungan. Juga dengan akumulasi pengetahuan dan pengalaman, tersedia bahan-bahan untuk keperluan menyusun pedoman tingkah laku. Sebagai pendekatan untuk pemecahan masalah, kebudayaan memungkinkan manusia mampu memahami dirinya sendiri.

Humanisme adalah paham yang mengasumsikan mahluk manusia sebagai dimensi paling penting dalam keseluruhan telaah berlandaskan ilmu pengetahuaan. Deskrispsi dan penjelasan tentang manusia adalah aspek paling pokok dari seluruh substansi yang termaktub dalam ilmu pengetahuan. Perhormatan terhadap ilmu pengetahuan sama dan sebangun maknanya dengan penghormatan terhadap manusia. Ilmu pengetahuan diajarkan untuk mempertajam rasa dan perasaan kemanusiaan. Sehingga dengan demikian, toleransi terhadadap perkembangan illmu pengetahuan mengacu pada tak terlukainya humanisme.

Manakala direnungkan secara serius, uraian di atas mendedahkan hubungan yang tak terpisahkan antara pendidikan, kebudayaan dan humanisme. Skema yang terbentuk oleh hubungan tersebut secara keseluruhan berkaitan erat dengan eksistensi manusia. Pendidikan mendewasakan manusia, kebudayaan memperkuat pemahaman manusia terhadap makna hidup, dan humanisme meniscayakan hayat manusia diperlakukan sebagai faktor penting dari segala telaah atau kajian ilmu pengetahuan. Hubungan tiga aspek ini benar-benar saling melengkapi. Bahkan, pendidikan yang berwibawa membawa serta pengajaran dan pelatihan untuk mempertajam pemahaman terhadap kebudayaan dan humanisme.

Masalahnya, hubungan yang niscaya ini tak selalu terakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pendidikn nasional. Tak ada upaya sungguh-sungguh pada tingkat kebijakan untuk merancang integrasi segitiga pendidikan-kebudayaan-humanisme. Kebijakan pendidikan nasional bahkan kian menjauh dari dimensi kebudayaan dan semakin terasing dari humanisme. Contoh konkretnya adalah Ujian Nasional, yang tanpa henti mencetuskan kontroversi. Ujian Nasional merupakan satu model evaluasi pendidikan yang tak relevan untuk keperluan penguatan makna hidup dan untuk memahkotai manusia sebagai intisari telaah ilmu pengetahuan.

Dalam tinjauan holistisisme-filosofis, sesungguhnya sangatlah jelas keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan dan humanisme. Inilah keterkaitan yang mengondisikan pendidikan bercorak kultural dan sekaligus humanistik. Inilah keterkaitan yang bersifat aksiomatik. Tapi produksi dan reproduksi kebijakan pendidikan nasional tak selalu memberi garansi untuk mencerap secara cerdas hakikat keterkaitan tiga hal tersebut. Para perancang kebijakan pendidikan nasional bukanlah figur-figur protagonis yang paham filosofi kebudayaan dan humanisme.[]

Wednesday, May 1, 2013

Sains Menyelamatkan Demokrasi

SAINS MENYELAMATKAN DEMOKRASI

Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

MAMPUKAH sains menyelamatkan demokrasi? Bagi sebagian orang, pertanyaan ini terkesan absurd. Tapi, manakala dipikirkan dengan sungguh-sungguh, sains merupakan salah satu pilar dalam hayat umat manusia yang mampu turut serta mengatasi krisis demokrasi. Dan sebagaimana diketahui, krisis demokrasi bukan saja berarti ketiadaan demokrasi dalam realitas hidup negara-bangsa. Krisis demokrasi juga muncul tanpa bisa dielakkan akibat tidak efektifnya sistem politik [yang semula ditengarai demokratis] demi terwujudnya kemaslahatan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Persis sebagaimana terjadi di Indonesia dewasa ini, krisis demokrasi benar-benar menemukan aksentuasinya serta faktualitasnya dalam kancah kompetisi politik. Pada berbagai lini kekuasaan politik, mengemuka pola kompetisi liberalistik. Patologi korupsi dan rapuhnya hukum oleh bersimaharajalelanya ketidakadilan justru mendorong kompetisi bercorak liberalistik itu hanya melahirkan aksi-aksi politik anti-kerakyatan. Publik tak mendapatkan manfaat signifikan dari praksis demokrasi. Tak pelak lagi, inilah krisis demokrasi yang begitu terang benderang di Indonesia kini.

Pertanyaannya, mungkinkah krisis demokrasi dapat diakhiri? Jawaban terhadap pertanyaan ini memiliki kaitan konteks dengan sains.

Apa yang bisa kita garisbawahi adalah sebuah prinsip. Bahwa tatkala demokrasi dilanda krisis, maka hal fundamental yang mendesak dikaji ulang adalah hubungan segitiga negara-masyarakat-perekomonian. Jika dalam hubungan segitiga tersebut negara tidak obyektif, maka tendensi yang tak terelakkan adalah masyarakat yang tersudutkan secara telak sebagai tumbal pengorbanan kepentingan modal aktor-aktor penggerak perekonomian. Realitas buruk ini tengah berlangsung di Indonesia dalam bentuknya yang amat sangat menonjol.

Pada satu sisi, apararur pemerintah bertindak sebagai makelar dalam jejaring hubungan antara negara dan masyarakat atau dalam rentang hubungan antara negara dan aktor-aktor ekonomi. Pada lain pihak, dari ranah negara, aparatur-aparatur pemerintahan memetik keuntungan melalui jalan korupsi, dan dari masyarakat atau aktor ekonomi aparatur pemerintah meraih keuntungan melalui jalan pungli. Itulah mengapa, reformasi birokrasi publik meniscayakan terjadinya transformasi aparatur pemerintahan, dari yang sebelumnya berwatak broker berubah menjadi berjiwa agensi. 

Situasi faktual yang sangat buruk tersebut kini mendesak dikoreksi secara sungguh-sungguh. Terlebih lagi, kecenderungan baru yang melanda berbagai aspek kehidupan adalah semakin determinatifnya peran sains  dan teknologi. Diakui atau tidak, perkembangan baru dalam kancah kehidupan masyarakat maupun dalam dinamika perekonomian justru malah menuntut pemanfaatan secara lebih besar sains dan teknologi. Hingga kemudian sampai pada satu titik, di mana telah mulai terbentuk formasi knowledge society dan knowledge economy. Pertanyaan kritikalnya: Bagaimana mungkin knowledge society dan knowledge economy terakselerasikan keberadaannya manakala masih jua bergemuruh krisis demokrasi?

Sesungguhnya, isu sains menyelamatkan demokrasi memiliki kejelasan hakikat dan logika. Terutama untuk keperluan menyambut hadirnya knowledge society dan knowledge economy, sains meniscayakan penyelamatan demokrasi dari ancaman krisis yang kian parah.

Pertama, watak dasar sains adalah kejujuran dan obyektivitas. Lompatan besar kemajuan sains mempersyaratkan kejujuran dan obyektivitas. Sebab, hanya dengan kejujuran dan obyektivitas itulah maka inisiatif-inisiatif baru dalam dialektika perkembangan sains menghasilkan output yang otentik. Kedua, sains berkembang dengan didukung oleh pola kerja sistemik yang menjunjung tinggi koherensi dan holistisisme.

Baik kejujuran, obyektivitas, koherensi maupun holistisisme mendesak ditumbuh kembangkan sebagai pijakan dasar agar sains bermanfaat maksimal mendukung terbentuknya orde kehidupan knowledge society dan knowledge economy. Praksis demokrasi dituntut mampu menyesuaikan diri dengan prinsip sains.

Hanya saja, upaya ke arah ini turut ditentukan oleh proses edukasi sains di dunia pendidikan.[]