Wednesday, April 24, 2013

Solusi Edukatif Kebangsaan

SOLUSI EDUKATIF KEBANGSAAN

Oleh
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

SEBAGAI bangsa, ternyata Indonesia dibelit oleh begitu banyak masalah. Dari dunia persepakbolaan hingga politik kekuasaan, belitan masalah itu pun rumit tak berujung pangkal. Seakan, Indonesia merupakan ensiklopedi masalah-masalah. Sehingga, tak mengada-ada jika lalu muncul gagasan untuk menemukan solusi alternatif dengan berpijak pada spirit edukatif. Dalam konteks ini, sengaja dilakukan upaya penelisikan: Bagaimana dunia pendidikan dilibatkan secara serius untuk turut serta mengatasi masalah kebangsaan.

Bagaimana pun, pendidikan merupakan sebuah ranah kehidupan yang masih bening saat menyimak dan menyibak kemelut kebangsaan. Meski pun di sana-sini bertaburan hipokritas, toh dunia pendidikan masih lebih jernih mencerna masalah-masalah kebangsaan. Pendidikan jelas merupakan mercusuar optimisme yang potensial mengubah masalah kebangsaan menjadi tantangan yang musti dituntaskan.

Hal penting yang patut dicatat jika pendidikan sengaja diperlakukan sebagai bagian dari solusi masalah kebangsaan adalah perspektifnya yang spesifik. Manakala disimak berdasarkan perspektif edukatif, maka masalah kebangsaan terbagi menjadi dua kategori pokok.

Pertama, masalah kebangsaan terkait dengan rendahnya daya saing nasional dalam era globalisasi kini. Padahal, implikasi serius yang ditimbulkan oleh rendahnya daya saing nasional adalah memburuknya kesejahteraan rakyat. Di tengah hantaman globalisasi yang tak mengenal belas kasihan, rakyat justru tak memiliki pegangan untuk mempertahankan eksistensinya. Ketiadaan daya saing sama dan sebangun maknanya dengan pemunahan secara pelan perlahan eksistensi rakyat.

Kedua, masalah kebangsaan terkait erat dengan format kebijakan negara. Tak dapat dipungkiri, kebijakan negara tidak aspiratif manakala disimak berdasarkan sudut pandang kedaulatan rakyat. Kebijakan demi kebijakan terus-menerus diproduksi oleh kuasa politik pada berbagai lini. Tapi tragisnya, kebijakan itu tak berpihak pada rakyat banyak. Konyolnya lagi, kebijakan-kebijakan dilahirkan semata sebagai kelanjutan logis dari kepentingan elite-elite politik. Ini merupakan akibat langsung dari realisme politik kontemporer yang sepenuhnya bercorak transaksional. Itulah sesungguhnya politik "wani piro".

Dengan memerhatikan dua kategori masalah tersebut, maka dunia pendidikan pun mampu meneropong potensialitas kebangsaan yang terserak ke berbagai arah. Potensialitas kebangsaan dimaksud adalah beragamnya kelompok masyarakat madani yang menguasai situasi riil kemasyarakatan. Potensilitas kebangsaan yang lain adalah masih terpeliharanya spirit pengorbanan dalam hati sanubari rakyat bangak.

Bertitik tolak dari semua itu, maka upaya saksama yang lantas niscaya dilakukan dunia pendidikan adalah mengembangkan berbagai macam kerangka edukasi tentang politik representasi. Tujuannya, agar formasi keanggotaan parlemen diisi oleh elemen-elemen potensialitas kebangsaan, yang memang diupayakan oleh dunia pendidikan. Substansi pendidikan diberi bobot yang lebih besar untuk turut serta melahirkan figur-figur mumpuni yang kelak berkiprah di parlemen. Proses edukasi lalu diwarnai oleh menguatnya pendidikan kebangsaan.

Selain itu, niscaya bagi dunia pendidikan mengajarkan seluk beluk kebijakan negara yang mengacu pada kebenaran hakiki. Dengan "kebenaran hakiki" berarti, kebijakan negara dirumuskan untuk tujuan pokok agar postur dan sukma kebijakan negara sepenuhnya responsif dan adaptif terhadap aspirasi publik. Maka, harus lahir dan terbentuk apa yang disebut "kebenaran aspiratif publik".

Dengan metode penyampaian secara sederhana, mudah dimengerti dan gampang dicerna, maka berbagai hal yang dikemukakan di atas optimis dapat diwujudkan dalam ranah pendidikan. Jika praksis pendidikan benar-benar berwatak solutif seperti dikemukakan di atas, maka itulah sesungguhnya pendidikan karakter. Artinya, pendidikan membentuk manusia-manusia berkarakter dalam resonansinya dengan solusi masalah kebangsaan.

Tantangan berikutnya lalu kembali pada dunia pendidikan itu sendiri. Bersediakah dunia pendidikan menjawab tantangan ini?[]

Tiga Sukma Solidaritas

TIGA SUKMA SOLIDARITAS

Oleh
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

AKSI kekekerasan tak habis-habisnya berlangsung di Indonesia, dan terus-menerus mewarnai ruang publik, serta dicerna oleh jutaan pemirsa televisi, pendengar radio, dan pembaca surat kabar. Bahkan atas nama solidaritas corp, kekerasan didentumkan menjadi peristiwa tragis yang berujung kematian dan pengorbanan nyawa. Begitulah seperti yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Belasan anggota Kopasus datang di malam hari, dan lalu membunuh empat narapida dari kalangan preman, sebagai aksi balas dendam. Sebab, sebelum peristiwa tersebut tergelar, seorang anggota Kopasus terbunuh oleh pengeroyokan empat orang preman itu.

Bercermin pada peristiwa ini, solidaritas ternyata mustahil bebas nilai. Aksi dengan orientasi apa pun bisa menggunakan solidaritas sebagai dasar pijakan. Tindakan dengan pandangan dunia apa pun dengan sangat mudah mengeksploitasi solidaritas. Bukan hanya altruisme, kebengisan pun amat sangat terbuka dirajut menjadi aksi kolektif dengan mengatasnamakan solidaritas. Maka, penting untuk kemudian menyuguhkan sebuah referensi kesadaran bagi dunia pendidikan, demi mendudukkan makna hakiki solidaritas dalam realitas hidup kolektif.

Sampai kapan pun, manusia sebagai mahluk sosial senantiasa membutuhkan solidaritas. Bermakna tidaknya hidup umat manusia, turut ditentukan oleh solidaritas. Jika solidaritas berada dalam satu titik kecenderungan untuk hanya memperluas dan memperdalam kebengisan, maka solidaritas mengikis habis segenap makna kebajikan dalam realitas hidup umat manusia. Sebaliknya jika solidaritas memperkukuh kemaslahatan, maka hidup umat manusia bermakna. Itulah mengapa, ada tiga sukma solidaritas.

Pertama, solidaritas berkaitan erat dengan pengerahan talenta-talenta. Sebagaimana diketahui, talenta merupakan bakat bawaan individual sejak sang manusia dilahirkan ke muka Bumi. Talenta merupakan semesta potensialitas yang inherent dalam diri manusia, serta berkedudukan sebagai faktor personal yang memang memungkinkan sang manusia mampu memberi kontribusi signifikan terhadap tegaknya peradaban adiluhung. Sejatinya, solidaritas dirajut untuk tujuan mulia pengerahan talenta-talenta. Solidaritas sengaja diperlakukan sebagai corak respons untuk melempangkan jalan seluas-luasnya demi teraktualisasikannya talenta-talenta.

Kedua, solidaritas dirancang bangun meraih keunggulan dalam bidang teknologi. Solidaritas untuk keperluan ini mengacu pada filosofi, bahwa teknologi merupakan dimensi yang bertautan erat dengan penerapan ilmu pengetahuan. Dalam teknologi termaktub metode ilmiah yang dimaksudkan untuk menggapai tujuan-tujuan mulia hidup umat manusia. Teknologi merupakan sarana agar manusia mampu meraih taraf hidup bermartabat. Maka, solidaritas untuk meraih kemajuan teknologi merupakan keharusan yang niscaya.

Ketiga, solidaritas dikerahkan untuk tujuan memperkukuh toleransi. Inilah imperatif yang memandang kemajemukan sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan karena itu pula kemajemukan diterima secara lapang dada dengan semangat dan kesadaran berwatak toleran. Kemajemukan dipersepsi secara sadar sebagai mosaik sosio-kultural agar hidup manusia benar-benar diwarnai oleh upaya saling memberi dan saling menerima puspa ragam kebajikan. Sejatinya, kemajemukan inilah yang sungguh-sungguh diperjuangkan keberadaannya, melalui solidaritas. Dengan tujuan memperkuat toleransi, solidaritas diperlakukan sebagai sikap hidup yang memberi makna kepada kemanusiaan.

Baik talenta, teknologi maupun toleransi (T3) merupakan satu kesatuan konteks yang dapat dikerahkan untuk membentuk satu model solidaritas bagi tumbuhnya altruisme. Sejalan dengan dinamika kehidupan abad XXI, T3 ini niscaya untuk saling bersenyawa satu sama lain (Richard Florida, The Rise of Creative Class, 2002). Dunia pendidikan merupakan ranah pembelajaran untuk menemukan point-point persenyawaan T3. Pada upaya persenyawan T3 itulah, energi kreatif manusia dipalingkan dari kekerasan. Maka, dunia pendidikan dituntut sepenuhnya mampu membangun solidaritas kemanusiaan yang berpijak pada persenyawaan T3.[]

Tuesday, April 23, 2013

Substansi, Bukan Simbol

SUBSTANSI, BUKAN SIMBOL

Oleh Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Jubilee School, Sunter, Jakarta

HINGGA kini, tak habis-habisnya ruang publik disuguhi pemberitaan pers tentang penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara. Paling tidak sejak era pasca-Orde Baru, penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara tersebut telah sedemikian rupa mencuat sebagai fenomena. Para pejabat negara tampak hebat dan dahsyat saat berada di atas panggung penerimaan gelar honoris causa. Ruang publik benar-benar diwarnai tontonan betapa sempurnanya eksistensi pejabat negara itu setelah meraih gelar honoris causa.

Tapi, di sini, mencuat problema eksistensial, yaitu seberapa jelas dan konkret hubungan antara gelar honoris causa pada satu sisi dan karya-karya akademik yang maslahat bagi kehidupan pada lain sisi. Apa yang terjadi jika para pejabat penyandang gelar honoris causa itu ternyata tak menyumbang apa-apa terhadap besarnya kebutuhan lahirnya karya-karya akademik yang maslahat? Bagaimana jika ternyata gelar honoris causa itu hanyalah simbolik belaka?

Tentu saja, tak ada yang keliru dengan simbol-simbol. Sebagai homo kultural, manusia takkan pernah bisa lari dari simbol-simbol. Sejalan dengan sensibilitas kultural, manusia membutuhkan simbol-simbol. Dalam tilikan kultural, teridentifikasi begitu banyaknya satuan-satuan simbol yang dibutuhkan sebagai penanda eksistensi manusia. Cuma saja, sekali pun tergolong mahal, hakikat dari simbol itu hanyalah pelengkap eksistensi semata. Tak lebih dan tak kurang.

Secara kategoris, simbol senantiasa ekuivalen dengan bentuk, dan substansi analog dengan isi. Masalahnya kini, muncul desakan untuk dengan segera melakukan transformasi kebangsaan. Dalam perubahan-perubahan besar abad XXI, para pejabat negara nyata-nyata diperhadapkan dengan pilihan logis-rasional. Bagaimana eksistensi mereka mencuat ke permukaan dengan lebih mengedepankan substansi ketimbang simbol. Eksistensi pejabat negara pada abad XXI, lebih terkait dengan isi ketimbang bentuk.

Pada akhirnya kita tak bisa mengelak dari tuntutan-tuntutan logis. Lebih pentingnya isi ketimbang bentuk sesungguhnya berkaitan erat dengan keniscayaan Indonesia sebagai bangsa besar yang seharusnya mandiri. Besarnya kekayaan sumber daya alam dan besarnya jumlah penduduk merupakan faktor unggulan yang memungkinkan Indonesia sepenuhnya mandiri sebagai bangsa. Tapi kita tahu, selama ini faktor sumber daya alam dan demografi tak terkelola baik. Bahkan, dua faktor itu terbengkalai semrawut hingga lalu dirasakan sebagai kutukan dan beban.

Kuasa politik feodalistik merupakan penyebab pokok terbengkalainya dua faktor unggulan itu. Pada satu sisi, kuasa politik feodalistik terus-terus memosisikan rakyat semata sebagai pelengkap penderita pada keseluruhan relasi kekuasaan. Pada lain sisi, kuasa politik feodalistik lebih merasa absah manakala digdaya tampil di hadapan publik dengan mengutamakan simbol-simbol ketimbang substansi. Pelayanan publik yang tak pernah mumpuni justru lalu membuncah menjadi situasi umum yang tak memungkinkan pejabat negara trengginas dan cekatan melayani rakyat meraih kesejahteraan.

Implikasi strategisnya tampak mencolok pada tak adanya kerangka dan skema inovasi. Tata kelola masyarakat, pemerintahan dan perekonomian tak tersentuh inovasi. Kalau pun makna penting inovasi terus dipidatokan, inovasi ternyata berjalan tanpa landasan filosofi dan tanpa kejelasan arah menggapai kesejahteraan rakyat. Inovasi pun terjebak ke dalam orientasi simbolistik yang sama sekali tak substantif.

Situasi tak menguntungkan itu diperparah oleh timbulnya fenomena honoris causa. Para pejabat negara penerima gelar honoris causa sudah merasa cukup dengan gempitanya seremoni penganugerahan. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, misalnya, selama sembilan tahun terakhir telah menerima tujuh gelar honoris causa. Tapi sayang seribu sayang, sang presiden masih terjebak ke dalam pusaran simbolisme.[]

Pasca-UN Karut-Marut

PASCA-UN KARUT MARUT

Oleh Anwari WMK

TAK ada satu pihak pun mampu membantah kenyataan buruk yang tengah menggelayuti jagad pendidikan nasional pada tahun 2013 ini. Bahwa sesungguhnya, karut-marut mewarnai Ujian Nasional (UN). Heboh di berbagai sudut Nusantara tercetus dan dirasakan publik sebagai bencana tersebab kebijakan aneh. Peserta didik tersiksa oleh keterlambatan distribusi, kekurangan jumlah dan ketertukaran soal UN. Para orangtua resah menatap anaknya gundah, dan lantas terhembuskan sebagai isu nasional media massa. Pada belantika media sosial Facebook maupun Twitter kritik dan sumpah serapah berhamburan. Tapi anehnya, di televisi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tampil dengan wajah tanpa dosa. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.

Tanpa harus menggunakan kerangka teori rumit berbelit-belit, karut-marut UN dapat dianalisis dengan mudah. Akar masalahnya berkelindan dengan problema tata kelola pengadaan dan distribusi soal UN. Secara geografis, Indonesia negeri kepulauan dengan bentangan wilayah luas, dari Sabang hingga Merauke. Dengan jadwal pelaksanaan serentak, kebutuhan terhadap soal dan jawaban UN berada dalam magnitude besar. Secara demikian berarti, produksi soal dan lembaran jawaban lebih masuk akal manakala tak terkonsentrasi semata di Pulau Jawa. Wilayah-wilayah luas terbentang di luar Pulau Jawa semestinya diberi wewenang mencetak serta mendistribusikan soal dan lembar jawaban UN. Aneh bin ajaib, imperatif ini diabaikan.

Manakala ditelusuri lebih lanjut mengapa imperatif ini diabaikan, maka jawabnya juga jelas dan tegas. Inilah konsekuensi logis dari politik pendidikan nasional yang sejak lama  terdistorsi arogansi dan orientasi proyek. Sudah mafhum diketahui publik, arogansi dan orientasi proyek itu bersilang sengkarut dengan keberadaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dengan arogansi, kebijakan-kebijakan pendidikan tak dirancang berbasis riset secara komprehensif-filosofis. Dengan orientasi proyek, pelayanan pendidikan disulap menjadi perburuan rente, demi menggerus anggaran negara.

Tak berlebihan jika kemudian dikatakan, bahwa para pengambil keputusan di Kemendikbud sesungguhnya kosong melompong dari keluhuran jiwa humanisme untuk kemaslahatan anak-anak bangsa di berbagai pelosok negeri. Kepiawaian melontarkan makna penting pendidikan di ruang publik, tak lebih hanyalah retorika belaka. Dengan berlindung di balik kemuflase kebijakan pendidikan nasional, peserta didik, guru, dan orangtua murid dipersepsi secara sempit sebagai obyek eksploitasi demi terus bertahannya arogansi dan orientasi proyek. Tanpa bisa dielakkan, karut-marut perhelatan akbar semacam UN diekspresikan sebagai problematika remeh-temeh.

Namun dari sini pula lalu muncul pertanyaan lain yang tak kalah kritikalnya: Bagaimana masa depan evaluasi pendidikan nasional? Dengan bercermin pada UN 2013 yang terdiatorsi karut-marut, bagaimana cetak biru evaluasi pendidikan nasional yang relevan dengan tantangan zaman baru?

Artikel pendek ini sama sekali tak berpretensi mengusulkan penghapusan evaluasi pendidikan nasional. Justru, artikel pendek ini mengusung argumentasi tentang pentingnya evaluasi pendidikan nasional. Hanya saja, format dan filosofi evaluasi tesebut bukan epigon, bukan taklid, dari model evaluasi yang dirancang bangun Kemendikbud selama ini. Inilah evaluasi yang bersifat terobosan, di dalamnya terkandung deteksi kualitas pendidikan untuk keperluan menjawab tantangan baru terbentuknya masyarakat berilmu pengetahuan.

Evaluasi ini tak memosisikan pendidikan mengekor di belakang haluan kemajuan ekonomi dan industri. Evaluasi justru memposisikan pendidikan berfungsi sebagai lokomotif kemajuan ekonomi dan industri. Cetak biru ekonomi dan industri berdaya saing tinggi diperlakukan sebagai bahan pembelajaran di dunia pendidikan.

Evaluasi dilaksanakan justru untuk menjadikan pendidikan inspirasi kejayaan bangsa. Inilah evaluasi yang lepas dari politik pendidikan kepala batu.[]

Monday, April 22, 2013

Kehidupan Berbingkai Sastra

KEHIDUPAN BERBINGKAI SASTRA

Oleh Anwari WMK

DARI generasi ke generasi, manusia senantiasa membutuhkan sastra. Meski pun tak sepenuhnya disadari, pada derajat tertentu, kebutuhan manusia terhadap sastra bersifat mutlak dan niscaya. Itu karena, pada satu sisi, sastra menyentuh kehidupan umat manusia dengan sangat lembut. Pada lain sisi, sastra terus-menerus menyingkap esoterisme kehidupan umat manusia. Sastra hadir dalam jiwa manusia dengan keindahan narasi.

Sulit membantah kenyataan, bahwa di sepanjang perjalanan hidupnya manusia takkan sepenuhnya bebas dari penderitaan. Tak ada garansi di Planet Bumi ini manusia bakal terus hidup damai sentosa. Pada setiap lipatan waktu, selalu timbul problema human suffering. Malahan, peradaban mewujud sebagai refleksi atau renungan manusia secara sublimatif terhadap penderitaan. Artinya, penderitaan telah sedemikian rupa hadir pada proses pendewasaan manusia dalam totalitas dinamika peradaban.

Hanya saja, tidaklah gampang mengembangkan serangkaian inisiatif eksploratif agar penderitaan sepenuhnya tertransformasi menjadi salah satu elemen tegaknya peradaban. Dibutuhkan kemampuan untuk melakukan pemaknaan terhadap penderitaan. Manakala hidup ini kosong dari upaya-upaya pemaknaan, maka penderitaan hanya mengglorifikasi atau mencetuskan nuansa-nuansa apatisme dan keputusasaan. Masyarakat yang gagal memberi makna pada penderitaan adalah masyarakat yang sesungguhnya rentan untuk terus-menerus terseret ke dalam kubangan krisis. Tanpa pemaknaan, penderitaan mandek sekadar sebagai ratapan-ratapan bersenandung pilu, yang sama sekali tak inspiratif.

Sastra, ternyata, merupakan pilar humaniora yang di dalamnya termaktub pemaknaan terhadap penderitaan. Melalui sastra, manusia menyelami penderitaan hingga ke akar-akarnya, tanpa harus terjebak ke dalam pusaran jiwa yang hanya berlumur kecengengan. Sejurus dengan itu, penderitaan dan jalan keluar terhadap penderitaan dinarasikan oleh karya-karya sastra melalui keindahan kata-kata. Tragedi demi tragedi yang menohok eksistensi umat manusia lalu terucapkan dengan penuh kewibawaan, penuh karakter. Betapa dengan sastra, penderitaan umat manusia tertorehkan sebagai dialektika jiwa yang begitu mempesona.

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah keseluruhan realitas hidup umat manusia sepenuhnya berbingkai sastra? Apa yang seharusnya dilakukan agar kehidupan termaknai seluruh hakikatnya melalui sastra? Apakah institusi-institusi pendidikan pada berbagai tingkatan benar-benar digdaya menggiring umat manusia menjadi berkarakter melalui terbentuknya kehidupan berbingkai sastra?

Sampai kapan pun, institusi-institusi pendidikan berpeluang besar mengarahkan kehidupan umat manusia agar sungguh-sungguh berbingkai sastra. Didukung oleh proses-proses pembelajaran yang berlangsung secara formal, justru memungkinkan dunia pendidikan berfungsi secara signifikan sebagai ladang subur persemaian sastra. Secara prinsip, dunia pendidikan sengaja membentuk kompetensi penguasaan sastra di kalangan peserta didik. Dalam konteks ini, pembelajaran tentang sastra dikait-hubungkan dengan seluruh mata pelajaran. Setiap mata pelajaran ditemukan celah-celahnya untuk memasukkan substansi sastra.

Pembelajaran tentang sastra lalu mencakup tiga aspek pokok. Pertama, membentuk tradisi kritis di kalangan guru dan murid melalui intensitas apresiasi terhadap karya-karya sastra. Kedua, memfasilitasi peserta didik yang memang berhasrat menciptan karya-karya sastra. Ketiga, mengukuhkan pola pembelajaran secara interdispliner dengan memasukan substansi sastra sebagai salah satu elemennya.

Jika tiga aspek pembelajaran ihwal sastra itu gagal diejawantahkan, maka dapat dipastikan dunia pendidikan jauh panggang dari api dalam hal berperan aktif memformat kehidupan umat manusia agar berbingkai sastra. Bukan saja kemudian sastra terus-menerus dipersepsi secara sempit semata sebagai bagian dari pelajaran bahasa. Lebih tragis lagi dari itu sastra dipersesi sebagai teks dan narasi nirmakna, tanpa makna. Hingga di sini lalu tampak adanya keanehan, betapa sastra diterbengkalaikan kapasitasnya dalam memberikan pemaknaan terhadap penderitaan umat manusia.[]

Thursday, April 18, 2013

Seumpama Abimanyu

SEUMPAMA ABIMANYU

DALAM lakon pewayangan, Abimanyu digambarkan sebagai kesatria sejati berusia muda. Menurut cerita pewayangan, ketokohan Abimanyu terbentuk oleh dialektika hidup yang sama sekali tak sederhana. Riwayat hidup sang kesatria muda penuh onak dan duri. Ia tidak lahir dan besar dalam suasana ketercukupan. Sejak bocah, Abimanyu hidup dalam nestapa kemiskinan.

Jelas, Abimanyu hanyalah lakon dalam cerita pewayangan. Sebagai tokoh, ia fiktif dan imajinatif. Tapi pada tokoh ini, tersembul suri tauladan yang urgen disimak secara saksama oleh dunia pendidikan. Nestapa kemiskinan tak membuat dirinya cengeng, alai dan lebai. Justru, kemiskinan menghantarkan Abimanyu pada praksis tapabrata: Menghayati makna kemiskinan demi terbentuknya pribadi berkarakter.

Kita tahu, "tapabrata" merupakan nomenklatur dalam etika Jawa yang dilakoni untuk tujuan meraih kesempurnaan jiwa. Jika boleh meminjam perspektif sisiolog Jerman Max Weber, tapabrata itu semakna dengan asketisisme. Penderitaan tersebab kemiskinan, justru membuat Abimanyu terkukuhkan sebagai seorang pribadi yang jernih menyimak kehidupan. Kemiskinan yang telah mencetuskan tapabrata atau asketisisme, menghantarkan seorang Abimanyu pada kebeningan jiwa menatap segenap pernak-pernik dunia dengan hati nurani. Sisi terang dan sisi gelap dunia lalu terdeteksi secara apa adanya.

Tatkala mulai beranjak dewasa dan kemudian tercatat sebagai prajurit sejati, Abimanyu merupakan sosok dengan kebeningan nurani yang tiada tara. Jiwanya mampu mencerna kemungkinan timbulnya prahara besar pertumpahan darah akibat perseteruan tak kunjung usai antara Kerajaan Pandawa dan Kurawa. Perang besar Pandawa versus Kurawa telah sedemikian rupa hadir sebagai narasi tentang kecamuk ambisi dan angkara murka. Dan sebagaimana terdeteksi melalui kebeningan hati nurani Abimanyu, perang besar itu merupakan simbolisme dari kebengisan manusia menghancurkan sesamanya. Kalau pun musti berpihak, Abimanyu takkan pernah lari dari gema yang berkumandang dari kedalaman hati nuraninya.

Seandainya di negeri ini hadir tokoh serupa Abimanyu, mungkin demokrasi kerakyatan lebih mudah diwujudkan. Di kelembagaan parlemen, misalnya, cukup banyak tokoh yang di kala bocah sesungguhnya bergumul dengan nestapa kemiskinan. Tapi sayangnya, kemiskinan tak terdedahkan sebagai atmosfer edukasi tapabrata. Kemiskinan di masa kecil malah mengkristalisasi ratapan jiwa dan umpatan kesadaran, bukan fase edukatif mengasah nurani. Tatkala bocah miskin itu lantas dewasa dan berhasil menorehkan namanya sebagai anggota parlemen, maka secara reflek-psikologis terkobarkan dendam pada kemiskinan masa lampau, dengan membiarkan dirinya terseret sengkarut korupsi.

Hingga kini, pendidikan nasional memang kosong dari mekanisme bagaimana menumbuhkan tapabrata sebagai etika sosial. Murid dari keluarga miskin tak ditangani berdasarkan kurikulum bercorak personal-individual, demi mengawal tumbuhnya laku tapabrata. Pendidikan nasional belum lazim dan belum terbiasa mengondisikan peserta didik berlatar belakang keluarga miskin agar mampu mengais hikmah dari kemiskinan. Pendidikan nasional bahkan gagal mendeteksi fakta-fakta buruk, bahwa tak sedikit dari anak-anak kaum miskin itu justru tumbuh dewasa dengan mental budak. Pendidikan nasional gagal mencegah terjadinya penularan dari kemiskinan harta benda merembes menjadi kemiskinan jiwa.

Sebagai bangsa, hingga ke masa depan Indonesia bakal terus diwarnai oleh nestapa kemiskinan. Tapi, absurd manakala membiarkan kaum miskin tumbuh sebagai pribadi dengan mental budak. Sebab dengan mental budak, pada akhirnya mereka rentan menghamba pada kuasa imperialistik global dan rentan pula terseret ke dalam sengkarut korupsi yang tiada tara. Untuk kaum miskin, sudah saatnya pendidikan nasional mencetak pribadi-pribadi seumpama Abimanyu.

Pertanyannya kemudian, mampukah pendidikan nasional menunaikan tugas mulia ini? Mampukah?[]

Anwari WMK

Ilmu Pengetahuan dan Kuasa Politik

ILMU PENGETAHUAN DAN KUASA POLITIK

DALAM realitas hidup umat manusia pada berbagai durasi waktu, kurun dan zaman, peran dan fungsi ilmu pengetahuan sangatlah jelas. Ilmu pengetahuan diposisikan secara terhormat sebagai faktor fundamental lahirnya kemuliaan umat manusia. Pandangan umum menyebutkan, bahwa dengan berilmu maka seorang manusia menapak tangga kemuliaan. Apalagi, kemunculan teknologi baru dan instrumentasi mutakhir [yang terbukti canggih dan bahkan super canggih] senantiasa lahir, tumbuh dan berkembang dari rahim ilmu pengetahuan.

Sehebat apapun teknologi dan instrumentasi baru mempengaruhi kehidupan masyarakat, semuanya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan. Bangsa-bangsa dan negeri-negeri terhormat di dunia juga ditentukan oleh kapasitas rakyatnya menguasai secara mumpuni ilmu pengetahuan.

Sungguh pun begitu, ilmu pengetahuan terbuka dimanfaatkan oleh siapa saja dan untuk tujuan apa saja. Pada aspek aksiologi, ilmu pengetahuan diperhadapkan dengan masalah-masalah moral dan etik. Artinya, pendayagunaan ilmu pengetahuan tak selalu sejalan dengan cita-cita luhur tegaknya humanisme. Kecenderungan buruk manusia menghalalkan segala acara asal tujuan tercapai justru acapkali teraselerasikan dengan memanfaatkan secara lancung ilmu pengetahuan. Contohnya, penggunaan secara masif mesin pembunuh masal yang dalam konteks perkembangan teknologi memang lahir dari rahim ilmu pengetahuan. Pada titik persoalan ini kita sebenarnya diperhadapkan dengan sisi gelap dan sisi buruk ilmu pengetahuan.

Teori Kritis kalangan filosof Mahzab Frankfurt dengan tegas mendedahkan kesimpulan, bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya tak pernah bebas nilai. Ilmu pengetahuan rentan disalahgunakan menjadi alat pemukul mengalahkan orang lain demi memenangkan  kuasa politik, kepentingan uang dan gengsi. Itulah mengapa, salah satu faktor penentu keberlanjutan kuasa imperialisme di dunia hingga kini melalui upaya sistematis penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Jika semula ilmu pengetahuan diagungkan sebagai dasar terciptanya kemuliaan manusia, pada akhirnya terbelokkan menjadi tak lebih hanyalah "belati" di tangan pembunuh berdarah dingin yang senantiasa menuntut tumbal pengorbanan. Ilmu pengetahuan yang semula berwajah malaikat, pada akhirnya menyerigai kehidupan umat manusua dengan laku gerombolan iblis.

Dengan menyimak fakta konkret bahwa ilmu pengetahuan rentan disalahgunakan menghancur leburkan humanisme, maka sudah saatnya bagi dunia pendidikan memahami problema yang disuarakan Teori Kritis, persis sebagaimana dirumuskan oleh para filosof Mahzab Frankfurt. Dunia pendidikan dituntut jeli memahami sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan. Metode paling tepat untuk menyingkap sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan adalah mencari kaitan atau saling hubungan antara ilmu pengetahuan dan kuasa politik. Seberapa akrab hubungan antara kuasa politik dan ilmu pengetahuan, sejatinya dijadikan penanda untuk mendeteksi ada tidaknya sisi gelap ilmu pengetahuan.

Tentu saja, tidak seluruh kuasa politik beroperasi secara lancung dengan menumbuh suburkan upaya-upaya sengaja penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Kuasa politik yang konsisten mewujudkan keadilan, justru mendayagunakan ilmu pengetahuan demi menjunjung tinggi humanisme atau kemuliaan manusia. Ilmu pengetahuan dalam konteks ini benar-benar mencorong dengan membawa cahaya terang benderang kemanusiaan. Ilmu pengetahuan bukan saja berkedudukan sebagai sumber pencerahan. Ilmu pengetahuan terdedahkan sebagai solusi masalah-masalah kolektif yang tengah dihadapi umat manusia.

Tapi, kuasa politik bengis dan imperialistik merupakan penyebab utama timbulnya problema penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Sebab, realitas hidup kolektif dipandu feodalisme. Tragisnya lagi, feodalisme menggiring kuasa politik sepenuhnya pragmatik dan koruptif. Sejatinya, dunia pendidikan menyadari kenyataan buruk ini. Bahwa bagi kuasa bengis-imperialistik, ilmu pengetahuan didayagunakan hanya untuk melahirkan keburukan yang dirasakan masyarakat secara langsung.[]

Anwari WMK