Thursday, April 18, 2013

Seumpama Abimanyu

SEUMPAMA ABIMANYU

DALAM lakon pewayangan, Abimanyu digambarkan sebagai kesatria sejati berusia muda. Menurut cerita pewayangan, ketokohan Abimanyu terbentuk oleh dialektika hidup yang sama sekali tak sederhana. Riwayat hidup sang kesatria muda penuh onak dan duri. Ia tidak lahir dan besar dalam suasana ketercukupan. Sejak bocah, Abimanyu hidup dalam nestapa kemiskinan.

Jelas, Abimanyu hanyalah lakon dalam cerita pewayangan. Sebagai tokoh, ia fiktif dan imajinatif. Tapi pada tokoh ini, tersembul suri tauladan yang urgen disimak secara saksama oleh dunia pendidikan. Nestapa kemiskinan tak membuat dirinya cengeng, alai dan lebai. Justru, kemiskinan menghantarkan Abimanyu pada praksis tapabrata: Menghayati makna kemiskinan demi terbentuknya pribadi berkarakter.

Kita tahu, "tapabrata" merupakan nomenklatur dalam etika Jawa yang dilakoni untuk tujuan meraih kesempurnaan jiwa. Jika boleh meminjam perspektif sisiolog Jerman Max Weber, tapabrata itu semakna dengan asketisisme. Penderitaan tersebab kemiskinan, justru membuat Abimanyu terkukuhkan sebagai seorang pribadi yang jernih menyimak kehidupan. Kemiskinan yang telah mencetuskan tapabrata atau asketisisme, menghantarkan seorang Abimanyu pada kebeningan jiwa menatap segenap pernak-pernik dunia dengan hati nurani. Sisi terang dan sisi gelap dunia lalu terdeteksi secara apa adanya.

Tatkala mulai beranjak dewasa dan kemudian tercatat sebagai prajurit sejati, Abimanyu merupakan sosok dengan kebeningan nurani yang tiada tara. Jiwanya mampu mencerna kemungkinan timbulnya prahara besar pertumpahan darah akibat perseteruan tak kunjung usai antara Kerajaan Pandawa dan Kurawa. Perang besar Pandawa versus Kurawa telah sedemikian rupa hadir sebagai narasi tentang kecamuk ambisi dan angkara murka. Dan sebagaimana terdeteksi melalui kebeningan hati nurani Abimanyu, perang besar itu merupakan simbolisme dari kebengisan manusia menghancurkan sesamanya. Kalau pun musti berpihak, Abimanyu takkan pernah lari dari gema yang berkumandang dari kedalaman hati nuraninya.

Seandainya di negeri ini hadir tokoh serupa Abimanyu, mungkin demokrasi kerakyatan lebih mudah diwujudkan. Di kelembagaan parlemen, misalnya, cukup banyak tokoh yang di kala bocah sesungguhnya bergumul dengan nestapa kemiskinan. Tapi sayangnya, kemiskinan tak terdedahkan sebagai atmosfer edukasi tapabrata. Kemiskinan di masa kecil malah mengkristalisasi ratapan jiwa dan umpatan kesadaran, bukan fase edukatif mengasah nurani. Tatkala bocah miskin itu lantas dewasa dan berhasil menorehkan namanya sebagai anggota parlemen, maka secara reflek-psikologis terkobarkan dendam pada kemiskinan masa lampau, dengan membiarkan dirinya terseret sengkarut korupsi.

Hingga kini, pendidikan nasional memang kosong dari mekanisme bagaimana menumbuhkan tapabrata sebagai etika sosial. Murid dari keluarga miskin tak ditangani berdasarkan kurikulum bercorak personal-individual, demi mengawal tumbuhnya laku tapabrata. Pendidikan nasional belum lazim dan belum terbiasa mengondisikan peserta didik berlatar belakang keluarga miskin agar mampu mengais hikmah dari kemiskinan. Pendidikan nasional bahkan gagal mendeteksi fakta-fakta buruk, bahwa tak sedikit dari anak-anak kaum miskin itu justru tumbuh dewasa dengan mental budak. Pendidikan nasional gagal mencegah terjadinya penularan dari kemiskinan harta benda merembes menjadi kemiskinan jiwa.

Sebagai bangsa, hingga ke masa depan Indonesia bakal terus diwarnai oleh nestapa kemiskinan. Tapi, absurd manakala membiarkan kaum miskin tumbuh sebagai pribadi dengan mental budak. Sebab dengan mental budak, pada akhirnya mereka rentan menghamba pada kuasa imperialistik global dan rentan pula terseret ke dalam sengkarut korupsi yang tiada tara. Untuk kaum miskin, sudah saatnya pendidikan nasional mencetak pribadi-pribadi seumpama Abimanyu.

Pertanyannya kemudian, mampukah pendidikan nasional menunaikan tugas mulia ini? Mampukah?[]

Anwari WMK

No comments:

Post a Comment