Monday, July 7, 2014

Momentum Pendidikan Karakter

MOMENTUM PENDIDIKAN KARAKTER

SESUNGGUHNYA, selalu tersedia momentum bagi berlangsungnya pendidikan karakter. Tapi sayangnya, momentum itu acapkali disia-siakan, diabaikan. Ramadan, misalnya, merupakan momentum pendidikan karakter dalam konteks hidup sederhana. Keharusan mengekang diri dari kelaziman makan dan minum merupakan dasar pengukuhan personalitas yang steril dari watak pemubadziran. Namun faktanya, Ramadan justru malah menstimuli jutaan orang untuk berkonsumsi pangan secara dramatis.

Laporan situs berita BBC pada 7 Juli 2014 menyebutkan, bahwa pemubadziran makanan di Arab Saudi selama Ramadan tahun ini mencapai sekitar 30% dari total 4 juta ton volume pangan yang diolah. Sebagai akibatnya, terjadi pemubadziran produk dan komoditas pangan senilai 1,2 juta real. Ini berarti, setara dengan Rp 3,8 miliar. Dewan Kota Mekah lalu mengeluh, lantaran harus berjibaku mengatasi sangat besarnya volume makanan terbuang. Hanya untuk kurun waktu tiga hari pertama Ramadan saja, sampah makanan mencapai 5.000 ton, sehingga memaksa pendayagunaan 45 alat pengolah sampah serta harus mengerahkan 8.000 tenaga kebersihan tambahan.

Diakui atau tidak, fakta ini merupakan potret maraknya hedonisme melalui pemubadziran pangan. Selain itu, kenyataan ini merupakan gambaran berkenaan dengan tergerusnya makna puasa Ramadan sebagai momentum pelatihan jiwa manusia demi mengukuhkan pola kehidupan bervisi kebersahajaan. Inilah habitus pemubadziran yang justru malah menabalkan Arab Saudi sebagai negara pembuang sampah terbesar keempat di dunia. Ramadan tak dimanfaatkan sebagai ruang waktu pelatihan bagi jiwa manusia untuk tak menyia-nyiakan pangan.

Secara prinsip, sangatlah jelas dan terang benderang faktor penyebab pemubadziran pangan di Arab Saudi itu. Pertama, kebiasaan warga membeli terlalu banyak komoditas pangan selama berlangsungnya Ramadan. Kedua, warga memilih memasak makanan baru setiap hari, serta menolak upaya memasak ulang makanan sisa. Ketiga, melonjaknya sumbangan pangan bagi kaum miskin justru berlangsung di tengah situasi rendahnya kapasitas distribusi organisasi-organisasi amal. Diperhadapkan dengan problema pemubadziran pangan itu maka tak berlebihan bilamana dikatakan, bahwa Ramadan belum berfungsi sebagai ruang waktu pendidikan karakter.

Pembicaraan tentang pemubadziran pangan selama Ramadan di atas, jelas hanyalah sekadar contoh dan atau ilustrasi. Kenyataan buruk yang sama sesungguhnya dapat dutemukan di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. Betapa Ramadan telah sedemikian rupa berdialektika dengan gelimang konsumerisme dan hedonisme. Ramadan memperluas cakupan naluriah hewaniah yang tiada tara. Ramadan gagal diperlakukan sebagai momentum pendidikan karakter.

Mungkin sebagian orang bertanya, bagaimana menjelaskan hubungan antara pendidikan karakter dan pengekangan terhadap naluri konsumsi? Dalam perspektif apa keduanya mencapai sebuah titik temu?

Haus dan lapar merupakan persoalan universal yang dihadapi umat manusia di sepanjang bentangan historis Planet Bumi. Peradaban dan kebudayaan diperhadapkan dengan persoalan haus dan lapar pada puak-puak tertentu manusia. Dan ternyata, proses pemenuhan akan haus dan lapar itu turut serta membentuk karakter, baik karakter dalam konteks perorangan maupun karakter dalam konteks kolektivitas manusia.

Tatkala pengatasan akan haus dan lapar sepenuhnya berdimensi naluriah, maka pola perilaku manusia setara dengan ego kebinatangan. Di sini, berlangsung proses pembinatangan dalam keharibaan jiwa manusia. Dan sebaliknya, tatkala pengatasan akan haus dan lapar berdimensi spiritual, maka pola perilaku manusia mempertinggi derajat kesadaran super ego dalam personalitas manusia. Di sini, terjadi proses keilahian dalam semesta jiwa manusia. Pada proses yang terakhir inilah sesungguhnya terdapat momen pendidikan karakter. Sebuah proses yang inherent dengan ibadah puasa.[]

Anwari WMK

Wednesday, October 30, 2013

Pendidikan Melawan Kemunafikan

PENDIDIKAN MELAWAN KEMUNAFIKAN

SEBAGAI bangsa, sebenarnya Indonesia terombang-ambing di samudera kemunafikan. Bahkan, corak dan format kemunafikan itu begitu puspa ragam. Dampak buruknya juga sangat dahsyat. Karena itu pula, muncul pertanyaan kritis. Mungkinkah pendidikan mampu melawan kemunafikan?

Puspa ragam kemunafikan itu dapat ditelisik pada fakta yang begitu terang benderang. Pertama, kemunafikan hadir sebagai reperkusi maraknya korupsi dalam tata kelola pemerintahan. Baik para birokrat maupun kaum politikus berjibaku melanggengkan korupsi dalam ranah pemerintahan di berbagai lini. Hingga kemudian timbul kejanggalan tiada tara: Memahami korupsi sebagai minyak pelumas yang dipersepsi menjamin kelangsungan perputaran roda pemerintahan. Amanat penderitaan rakyat lalu mandeg sekadar pemanis dalam serangkaian retorika politik. 

Kedua, kemunafikan bertali-temali dengan dangkalnya visi dakwah keagamaan di televisi. Para perancang dakwah keagamaan di televisi terjerembab ke dalam pusaran ego kompetisi untuk hanya memenangkan ketenaran, rating dan popularitas berefek finansial. Ke hadapan publik, dakwah keagamaan televisi gagal menyuguhkan pencerahan hakiki demi terbentuknya bangsa berakhlak mulia. Dakwah keagamaan majal oleh kegagapan mencerabut hingga ke akar-akarnya patologi sekularisme, pragmatisme, hedonisme dan materialisme. Malah, dakwah televisi bergeser menjadi ajang dagelan hampa makna, penuh dengan laku cengingisan.

Ketiga, kemunafikan terkukuhkan oleh pengedepanan egoisme di balik argumentasi-argumensi yang dikamuflase logis-rasional. Media massa diwarnai oleh perang argumentasi tegaknya keadilan, demokrasi, dan reformasi. Tapi anehnya, argumentasi-argumentasi itu menghamba pada egoisme para tokoh yang menyuarakannya. Perang argumentasi bermuara pada tawar-menawar kepentingan egoistik, yang kabur kaitannya dengan terwujudnya harkat, martabat dan kedaulatan rakyak. Bukan saja tak berdimensi edukatif, perang argumentasi hanyalah artikulasi secara telanjang motif parsial-partikular "wani piro", yang sungguh memuakkan.

Disadari atau tidak, kita lalu menjadi bangsa laknat. Trio kemunafikan di atas memunculkan implikasi rumit dan kompleks, yaitu terciptanya psiko-sosial yang sakit. Generasi muda mencerap trio kemunafikan itu sebagai banalitas hidup yang layak diterima sebagai pandangan dunia (Weltanschauung). Tak mengherankan jika tawuran pelajar dan seks bebas di kalangan pelajar mengacu pada trio kemunafikan tersebut.

Demi menyelamatkan generasi muda dari kehancuran jati diri berdimensi eksistensial, maka kinilah saatnya bagi dunia pendidikan menabuh genderang perlawanan. Pedagogi, mutlak diperlakukan sebagai strategi meruntuhkan habitus kemunafikan itu. Ini berarti, revitalisasi pendidikan diarahkan sebagai upaya serius rehabilitasi pedagogi. Hal fundamental yang lantas niscaya dilakukan adalah implementasi pedagogi kembar. Pada satu sisi, pedagogi fokus membangun kesadaran ihwal kemuliaan manusia. Pada lain sisi, pedagogi merajut kesadaran tentang bahaya bercokolnya musuh hakiki: Barisan komprador kemunafikan.

Pedagogi ihwal "kemuliaan manusia" berisikan pengakuan dan pembuktian, bahwa manusia merupakan mahluk paling mulia di alam semesta, namun nista bilamana munafik. Kemenyatuan akal dan ruhani merupakan variabel penentu kemuliaan seorang manusia. Optimalisasi fungsi akal diperlakukan secara elegan berbanding lurus dengan pematangan dan penyempurnaan ruhani. Pendidikan mencetak keluhuran budi: Kecerdasan akal dikondisikan seiring sejalan dengan kecerdasan ruhani. Akal dan ruhani diaksiomakan berjalin kelindan satu sama lain.

Pedagogi tentang "musuh hakiki manusia" justru mengharuskan dunia pendidikan berani mengoreksi kesalahan konsepsi persaudaraan universal. Bahwa persaudaraan universal tidak mencakup anasir-anasir kemunafikan. Tidak ada persaudaraan universal jika tidak dalam rangka "kemenyatuan akal dan ruhani" dalam peradaban dan kebudayaan. Pendidikan benar-benar didedahkan sebagai garda besar perlawanan terhadap kemunafikan.

Maka, pendidikan memasuki etape baru kesadaran: Memperbedakan kawan dan lawan. Demikianlah hakikat pendidikan kini, melawan kemunafikan.[]

Anwari WMK

Saturday, October 26, 2013

Riset Pendidikan Era Internet

RISET PENDIDIKAN ERA INTERNET

INTERNET menyuguhkan realitas baru terhadap dunia pendidikan, dan lantaran itu pula internet mengubah teknikalitas pembelajaran. Segala macam informasi, data dan fakta, tumpah ruah di kancah internet. Internet menjadi sumber alternatif untuk menemukan bahan-bahan pembelajaran, demi terbentuknya pola penguasaan secara mumpuni ilmu pengetahuan. Inilah realitas yang tak terbantahkan kini. Tapi sayangnya, dunia pendidikan tak maksimal merengkuh manfaat dari internet.

Sebagai pengusung realitas baru, internet bukan semata berkedudukan sebagai kekuatan kultural  mutakhir yang turut serta meramaikan [dan bahkan menghebohkan] peradaban umat manusia. Tanpa bisa dielakkan, internet pun hadir dengan mengubah orientasi pembelajaran dalam tata kelola pendidikan. Internet telah sedemikian rupa menggeser pembelajaran, menjadi “tak sepenuhnya berdinding”. Artinya, dengan optimalisasi pemanfaatan internet, pembelajaran leluasa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Disimak ke dalam dimensi ruang-waktu, internet mengondisikan proses pembelajaran bersifat relatif, walau penguasaan ilmu bersifat absolut.

Setidaknya, kini ada tiga hal yang patut dicatat dari keberadaan internet. Pertama, ketersediaan puspa ragam informasi, data dan fakta berada dalam perkembangan yang kian kompleks, oleh semakin terbukanya akses terhadap internet. Kedua, internet menyuguhkan kecepatan dan kemutakhiran konten informasi, data dan fakta.  Ketiga, internet berfungsi sebagai perpustakaan virtual yang memungkinkan siapa pun mengais ilmu pengetahuan melalui internet. Pendek cerita, pada abad XXI kini, internet merupakan wahana dan tonggak perjumpaan antara produsen dan konsumen ilmu pengetahuan.


Mengapa hingga kini dunia pendidikan setengah hati mengupayakan internet fungsional sebagai sumber pembelajaran? Ternyata, hingga kini, kaum guru belum serius membangun kompetensi riset pendidikan, dengan internet sebagai field study-nya. Dalam konteks pendidikan nasional, misalnya, belum tumbuh kelaziman riset-riset pendidikan yang ontologinya digali dari internet. Bahkan acapkali muncul pertanyaan aneh: Untuk apa riset pendidikan di internet? Inilah problematika baru pendidikan nasional pada era internet kini.

Puspa ragam konten yang terakumulasi sedemikain dahsyatnya di dunia internet justru malah mendesak direspons dengan riset-riset pendidikan. Pada satu sisi, internet memang kaya dengan berbagai macam informasi, data dan fakta. Tapi pada lain sisi, internet merupakan referensi yang rapuh. Internet lebih menyerupai “hutan belantara” informasi, data dan fakta, sehingga tak setiap konten internet relevan dengan dunia pendidikan.

Pada titik persoalan inilah, maka riset pendidikan dibutuhklan untuk keperluan sistematisasi dan kategorisasi informasi, data dan fakta yang tersaji di internet. Melalui riset, dapat ditelisik makna demi makna yang terkandung dalam konten-konten internet. Riset dibutuhkan agar informasi, data dan fakta yang digali dari internet benar-benar relevan dengan dunia pendidikan. Berpijak pada kata kunci “sistematisasi” dan “kategorisasi”, maka riset lebih ditekankan pada penyusunan anotasi-anotasi. Bahkan, laporan-laporan riset pun disusun dengan merujuk pada anotasi-anotasi tersebut.

Dengan “sistematisasi” berarti, dilakukan pencatatan secara saksama terhadap aspek-aspek fundamental pendidikan, yang centang perenang di kancah internet. Pencatatan aspek-aspek fundamental bukan saja penting, tapi sekaligus mendesak dilakukan sebagai bagian dari upaya reformasi pendidikan. Dengan “kategorisasi” berarti, dilakukan pemetaan terhadap aspek-aspek fundamental pendidikan, yang tersaji tak beraturan di internet. Bahkan dengan pemetaan itu pula, riset dapat dikerahkan sebagai upaya ilmiah yang pada derajat tertentu justru melandasi terbentuknya politik pendidikan nasional. Maka, dengan “sistematisasi” dan “kategorisasi”, isu-isu pendidikan yang terlansir ramai di internet tak diterima secara taken for granted, tetapi dimaknai segenap hakikatnya dalam anotasi.[]

Anwari WMK

Wednesday, October 23, 2013

Lelang Jabatan Kepala Sekolah

LELANG JABATAN KEPALA SEKOLAH

DALAM lingkup sekolah-sekolah negeri saja, kompleksitas mewarnai tata kelola pendidikan di seantero DKI Jakarta. Bagaimana tidak? Jumlah total sekolah-sekolah negeri yang tersebar di teritori DKI Jakarta mencapai 2.669 sekolah, dengan rincian: SD sebanyak 2.200 sekolah, SMP 289 sekolah, SMA 117 sekolah, dan SMK 63 sekolah. Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama menyimpulkan, bahwa banyak dari sekolah negeri itu terseok-seok eksistensinya sebagai pusaran masalah. Tanpa tedeng aling-aling, tawuran, penyiraman air keras, dan perbuatan mesum, muncul sebagai problematika edukatif di sekolah-sekolah negeri.

Solusi atas masalah-masalah tersebut, menurut Wakil Gubernur, adalah revitalisasi secara mendasar peran, fungsi, dan kedudukan kepala-kepala sekolah. Sudah tidak relevan lagi jika keberadaan kepala-kepala sekolah dimengerti secara sempit semata sebagai jabatan, seperti lazim dipersepsi selama ini. Jauh lebih penting lagi dari itu, kepala sekolah diperlakukan sebagai sebuah posisi yang terhormat karena pada dirinya melekat tanggung jawab terwujudnya akuntabilitas pencerdasan anak-anak bangsa. Atas dasar ini pula, maka lelang jabatan kepala-kepala sekolah negeri dinilai urgen dan mendesak. Seorang guru diberi jabatan kepala sekolah bukan berdasarkan alasan like and dislike, tetapi lantaran memiliki wawasan akademik yang mumpuni, kematangan jiwa dan kewibawaan kepemimpinan.

Manakala dikaitkan dengan makna penting pendidikan dalam peradaban, maka lelang jabatan kepala sekolah merupakan keputusan politik yang elok didukung. Dengan latar belakang peradaban urban-megapolitan yang senantiasa dinamis-dialektis, pendidikan di seantero Jakarta sesungguhnya berada dalam satu titik pertaruhan. Artinya, mutlak bagi institusi-institusi pendidikan tampil ke depan sebagai lokomotif kemajuan masyarakat urban-megapolitan, memasuki etape-etape baru kehidupan. Tantangan ini hanya mungkin bisa dijawab secara elegan oleh institusi-institusi pendidikan, yakni manakala terdapat kejelasan akuntabilitas kepemimpinan kepala sekolah. Agar pendidikan berwibawa sebagai pilar peradaban, maka mustahil hadirnya pribadi-pribadi rapuh pengendali jabatan kepala sekolah.

Jika institusi-institusi pendidikan melaju ke depan haluan zaman dengan dikawal secara kuat oleh kepemimpinan mumpuni kepala-kepala sekolah, maka dua hal dapat tercapai. Pertama, terpenuhinya tuntutan agar murid tumbuh sebagai pribadi bermoral, berkarakter serta memiliki kecerdasan emosional. Kepala sekolah dalam konteks ini merupakan eksistensi pokok, penentu lahirnya generasi baru bangsa yang menjunjung tinggi integritas. Kedua, institusi pendidikan mengukuhkan dirinya sebagai pusat akumulasi dan penyebaran ilmu pengetahuaan secara bermartabat. Kepemipinan seorang kepala sekolah lalu identik dengan kepemimpinan penguasan ilmu pengetahuan dalam maknanya yang hakiki.

Sejatinya, isu lelang jabatan kepala sekolah negeri diselamatkan dari bahaya cara pandang penuh kegusaran terhadap politik pendidikan di DKI Jakarta seperti yang berlangsung selama ini. Fakta bahwa sejauh ini kepala-kepala sekolah merupakan esensi yang tak signifikan bagi pendidikan yang mencerahkan, cukup sudah dicatat secara saksama sebagai "arkeologi kegagapan" dunia pendidikan [khususnya di sekolah-sekolah negeri]. Kini sudah saatnya kita serius memikirkan "makna hakiki jabatan kepala sekolah" dalam hubungannya dengan hakikat pendidikan sebagai pilar peradaban. Bahwa tugas fundamental kepala-kepala sekolah adalah merumuskan titik perjumpaan dua varibel pemanusiaan manusia. Variabel pertama adalah kompleksitas keilmuan, sedangkan variabel kedua adalah pembangunan karakter.

Dalam praksis kepemimpinan kepala sekolah terdapat aksioma edukatif yang integratif. Kepemimpinan kepala sekolah mensinergikan secara elegan dua hal fundamental, yaitu kompleksitas keilmuan dan pembangunan karakter. Kebiasaan mencerai beraikan dua hal ini harus segera diakhiri. Tradisi penguasaan ilmu yang menjunjung integritas berimplikasi langsung pada pembangunan karakter. Lelang jabatan berdayaguna mengejawantahkan aksioma tersebut.[]

Anwari WMK

Monday, October 21, 2013

Antara Kebudayaan dan Pembangunan

ANTARA KEBUDAYAAN DAN PEMBANGUNAN

BAGAIMANA sesungguhnya hubungan antara kebudayaan dan pembangunan? Bagaimana dunia pendidikan memahami saling hubungan antara kebudayaan dan pembangunan? Mana yang terlebih dahulu niscaya dijadikan dasar dalam hubungan tersebut?

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka sejak era Orde Baru. Dan kini setelah Orde Baru berlalu tersapu angin sejarah, pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali berkumandang.

Di Bali pada 24 hingga 27 November 2013, diselenggarakan World Culture Forum (WCF). Simposium internasional yang menjadi bagian dari perhelatan WCF tersebut mengangkat enam topik, yaitu: (1) Holistic Approaches to Culture in Development, (2) Civil Society and Cultural Democracy, (3) Creativity and Cultural Economics, (4) Culture in Environment Sustainability, (5) Sustainability Urban Development, (6) Interfaith Dialoque and Community Building.

Topik-topik tersebut tersusun sebagai konsekuensi logis dari hadirnya perspektif sempit terhadap kebudayaan. Topik-topik tersebut merefleksikan kelirunya kesadaran bahwa "kebudayaan merupakan pendukung pembangunan".

Kebudayaan didudukkan secara pasif sebagai pemberi legitimasi terhadap penyelenggaraan pembangunan. Kebudayaan dikelola untuk membentuk manusia dengan mentalitas pembangunan. Inilah kesadaran yang memandang bahwa tidak ada gunanya kebudayaan, jika ternyata gagal menyokong sukses pembangunan ekonomi dan politik.

Bagi dunia pendidikan, cara pandang ini tidak patut diadopsi untuk membentuk kesadaran kebudayaan dalam diri manusia. Cara pandang ini tidak layak dijadikan paradigma edukasi. Itu karena, kebudayaan diposisikan secara sempit sebagai subordinasi dari pembangunanisme. Kebudayaan hanya diletakkan sebagai catatan kaki dalam totalitas gemuruh pembangunanisme. Kebudayaan hanya diposisikan sebagai pendorong "mobil mogok" pembangunanisme.

Dalam kompleksitas kehidupan abad XXI kini, kebudayaan justru merupakan lingkaran besar pembentuk atmosfer kehidupan yang bermartabat. Tak mencukupinya satu disiplin ilmu memecahkan masalah-masalah kongkret, meniscayakan adanya dua hal. Pertama, hadirnya pendekatan interdisipliner yang dirajut secara rapih oleh filsafat, sehingga interdisipliner berdaya guna memecahkan masalah-masalah riil berbasis ilmu pengetahuan. Kedua, rajutan filosofis berbagai disiplin ilmu mutlak berada dalam lingkaran besar kebudayaan. Agar, solusi masalah berbasis ilmu pengetahuan tak terjebak ke dalam rasionalisme dan empirisme yang meluluhlantakkan kemanusiaan.

Jelas pada akhirnya, kebudayaan bukankah pemberi legitimasi kepada pembangunanisme, kebudayaan justru berkedudukan sebagai pengarah dan pengawas terhadap seluruh proses pembangunanisme. Modal kebudayaan bersukmakan keadilan, kemanusiaan dan keindahan diperlakukan sebagai kekuatan besar untuk menelisik secara kritis arti dan makna pembangunanisme. Sehingga dengan demikian terdapat kejelasan skema. Pada satu sisi, pembangunanisme merupakan implikasi logis dari adanya jalinan filosofis interdisipliner. Pada lain sisi, akselerasi pembangunanisme diawasi secara kritis oleh kebudayaan.

Maka, bagi dunia pendidikan, tak mungkin pula kebudayaan terus-menerus dimengerti secara terbatas sebagai seni. Kubudayaan mutlak dipahami sebagai sistem nilai yang menjamin pemanusiaan manusia. Sejatinya, kebudayaan dipahami secara jernih sebagai penjamin kemerdekaan manusia dari belenggu penistaan, penindasan, perbudakan. Jika ternyata pembangunanisme hanya melahirkan penistaan, penindasan dan perbudakan, maka kebudayaan tampil sebagai kekuatan koreksi yang kritikal terhadap praksis pembangunanisme. Paradigma inilah yang patut dan layak diadopsi oleh dunia pendidikan.

Kita musti jujur mengakui bersimaharajalelanya dua pilar kezaliman masa kini, yaitu demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal. Penderitaan jutaan umat manusia dalam nestapa kemiskinan struktural dihela oleh gemuruh perguliran demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal. Tragisnya lagi, pembangunanisme merupakan hamparan luas bagi tumbuh suburnya dua pilar kezaliman tersebut. Malapetaka tiada tara jika ternyata kebudayaan hanya memberi pembenaran terhadap pembangunanisme yang sedemikian rupa itu.

Maka, pendidikan harus memiliki kejelasan paradigma kebudayaan.[]

Anwari WMK

Monday, August 19, 2013

Tantangan Ilmu Hayati

TANTANGAN ILMU HAYATI

Oleh Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan, Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

PERKEMBANGAN terbaru ilmu hayati (life science) di Indonesia patut dicatat secara saksama. Institut Teknologi Bandung (ITB) berencana menjadikan Kampus Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, sebagai ajang penyelenggaraan kegiatan akademis yang fokus pada pengembangan ilmu-ilmu hayati. Kampus seluas 47 hektar itu mengembangkan rekayasa pertanian, perhutanan, bioenergi, dan sebagainya. Dari keberadaan ITB secara keseluruhan, Kampus Jatinangor benar-benar diposisikan sebagai pusat pengembang ilmu hayati. Dari sini pula publik patut berharap, bahwa seluruh upaya pengembangan ilmu hayati tersebut benar-benar berimplikasi positif terhadap Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Sebagaimana diketahui, ilmu hayati semakin berperan signifikan dalam hal membentuk kesadaran baru kehidupan. Melalui pendaya-gunaan ilmu hayati, manusia semakin didekatkan pada pemahaman secara holistik terhadap seluruh hakikat yang terkait dengan mahluk hidup. Sementara dalam jangka panjang, keberadaan mahluk hidup bertautan erat dengan ekosistem.

INTERDISIPLINER

Sebagai sebuah kerangka studi terhadap organisme, ilmu hayati bersinggungan dengan berbagai macam aspek ekosistem dalam satu hamparan geografis yang spesifik. Lingkungan fisis serta berbagai macam pola interaksinya dengan mahluk hidup telah mencetuskan tolak ukur spesifik kebermaknaan hidup manusia. Melalui pemahaman terhadap ilmu hayati, manusia dapat meningkatkan kualitas hidup dan standar hidup.

Dalam pengertiannya secara sederhana, ilmu hayati merupakan sebuah kerangka kerja ilmiah yang mengkaji keberadaan mikroorganisme, tumbuhan, binatang dan aspek biologis manusia. Tapi dalam pengertiaannya yang kompleks, ilmu hayati mencakup ontologi yang luas, beragam, dan multiperspektif. Ilmu hayati dalam pengertian sempit dan luas itu penting disimak, agar ia berperan sebagai faktor fundamental peningkatan kualitas hidup manusia dan peningkatan standar hidup manusia.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari, manusia terus-menerus diperhadapkan dengan arti penting kesehatan, pertanian, pengobatan, farmasi, pangan dan industri. Semua ini berubah menjadi tantangan, dan bahkan persoalan, jika tak tertangani dengan baik. Dan untuk dapat menangani dengan baik, maka dibutuhkan memahaman secara akademik-filosofis. Dengan demikian berarti, ilmu hayati merupakan sebuah rumpun ilmu pengetahuan yang keberadaannya amat sangat relevan dengan kehidupan manusia.

Diperhadapkan dengan tantangan kehidupan abad XXI kini, makna penting ilmu hayati tampak kian menonjol. Mengabaikan ilmu-ilmu hayati sama saja dengan mengabaikan kehidupan itu sendiri. Sungguh pun demikian, sebuah catatan penting dikemukakan sebagai upaya kontemplasi.

Betapa pun sangatlah jelas relevansi ilmu hayati dalam hubungannya dengan keberadaan manusia, penanganannya tidak mungkin secara sambil lalu. Ilmu hayati mutlak ditangani secara serius dengan mempertimbangkan seluruh faktor obyektif yang menyertainya.  Artinya, kita tak dapat mengelak dari kemestian, bahwa dalam perkembangannya yang lebih mutakhir, ilmu hayati bersinggungan dengan disiplin ilmu pengetahuan yang lain.

Agar sepenuhnya maslahat bagi kehidupan umat manusia, ilmu hayati mutlak dimengerti sebagai ilmu pengetahuan berwatak interdisipliner. Biologi molekular, misalnya, kini merupakan mercusuar yang menandai masuknya ilmu hayati ke dalam spektrum ilmu pengetahuan interdisipliner. Penguasaan ilmu hayati meniscayakan kukuhnya pemahaman terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Dengan kata lain, kerja-kerja akademik yang termaktub di dalamnya berada dalam spektrum luas hubungan antar-disiplin ilmu pengetahuan. Pada satu sisi, biologi molekular merupakan cabang dari biologi. Tapi pada lain sisi, aktualisasinya untuk kemaslahatan hidup umat manusia berjalin kelindan dengan ilmu kimia, genetika dan biokimia.

Alasan pokok mengapa biologi molekular masuk ke dalam ranah interdisipliner, hal itu terkait erat dengan perannya sebagai ilmu pengetahuan yang terus-menerus berupaya memahami hakikat interaksi antarsel dari keberadaan mahluk hidup. Sedemikian rupa keberjalin kelindanan itu, sampai-sampai ilmuwan William Astbury (1889-1961) pada awal dekade 1960-an menyebut biologi molekuler sebagai ilmu pengetahuan dasar yang menjadi titik tolak bagi kerangka kerja akademik disiplin-disiplin ilmu pengetahuan lain.

DUA CATATAN

Dan apa yang kemudian penting kita catat adalah dua hal. Pertama, interdisipliner mutlak dimengerti sebagai sebuah kondisi yang meniscayakan ilmu hayati bersambung sinambung dengan falsafah dan psikologi. Kalau pun hingga sekarang ini kebersinambungan tersebut belum dirasakan secara mencolok, maka dalam etape waktu ke depan harus disadari bakal hadir membentuk kenyataan.

Kedua, institusi pendidikan tinggi selevel ITB tak cukup hanya memandang signifikan kemegahan kampus di Jatinangor. Lebih dari itu, ITB dituntut serius mengelaborasi berbagai macam model keterhubungan ilmu hayati dengan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Jika imperatif ini mampu diwujudkan, maka semakin jelas dan konkret kontribusi ITB dalam hal peningkatan kualitas hidup dan standard hidup bangsa Indonesia.

Kita kini berada dalam tuntutan yang tak kepalang tanggung. Bahwa, sudah saatnya berdiri sebuah kampus pendidikan tinggi yang memang serius dicanangkan sebagai center of excellence rekayasa pertanian, perhutanan dan bioengineering untuk kemaslahatan rakyat dan bangsa Indonesia.[]

Tuesday, August 13, 2013

Kehidupan Berbingkai Sastra

KEHIDUPAN BERBINGKAI SASTRA

Oleh Anwari WMK

DARI generasi ke generasi, manusia senantiasa membutuhkan sastra. Meski pun tak sepenuhnya disadari, pada derajat tertentu, kebutuhan manusia terhadap sastra bersifat mutlak dan niscaya. Itu karena, pada satu sisi, sastra menyentuh kehidupan umat manusia dengan sangat lembut. Pada lain sisi, sastra terus-menerus menyingkap esoterisme kehidupan umat manusia. Sastra hadir dalam jiwa manusia dengan keindahan narasi.

Sulit membantah kenyataan, bahwa di sepanjang perjalanan hidupnya manusia takkan sepenuhnya bebas dari penderitaan. Tak ada garansi di Planet Bumi ini manusia bakal terus hidup damai sentosa. Pada setiap lipatan waktu, selalu timbul problema human suffering. Malahan, peradaban mewujud sebagai refleksi atau renungan manusia secara sublimatif terhadap penderitaan. Artinya, penderitaan telah sedemikian rupa hadir pada proses pendewasaan manusia dalam totalitas dinamika peradaban.

Hanya saja, tidaklah gampang mengembangkan serangkaian inisiatif eksploratif agar penderitaan sepenuhnya tertransformasi menjadi salah satu elemen tegaknya peradaban. Dibutuhkan kemampuan untuk melakukan pemaknaan terhadap penderitaan. Manakala hidup ini kosong dari upaya-upaya pemaknaan, maka penderitaan hanya mengglorifikasi atau mencetuskan nuansa-nuansa apatisme dan keputusasaan. Masyarakat yang gagal memberi makna pada penderitaan adalah masyarakat yang sesungguhnya rentan untuk terus-menerus terseret ke dalam kubangan krisis. Tanpa pemaknaan, penderitaan mandek sekadar sebagai ratapan-ratapan bersenandung pilu, yang sama sekali tak inspiratif.

Sastra, ternyata, merupakan pilar humaniora yang di dalamnya termaktub pemaknaan terhadap penderitaan. Melalui sastra, manusia menyelami penderitaan hingga ke akar-akarnya, tanpa harus terjebak ke dalam pusaran jiwa yang hanya berlumur kecengengan. Sejurus dengan itu, penderitaan dan jalan keluar terhadap penderitaan dinarasikan oleh karya-karya sastra melalui keindahan kata-kata. Tragedi demi tragedi yang menohok eksistensi umat manusia lalu terucapkan dengan penuh kewibawaan, penuh karakter. Betapa dengan sastra, penderitaan umat manusia tertorehkan sebagai dialektika jiwa yang begitu mempesona.

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah keseluruhan realitas hidup umat manusia sepenuhnya berbingkai sastra? Apa yang seharusnya dilakukan agar kehidupan termaknai seluruh hakikatnya melalui sastra? Apakah institusi-institusi pendidikan pada berbagai tingkatan benar-benar digdaya menggiring umat manusia menjadi berkarakter melalui terbentuknya kehidupan berbingkai sastra?

Sampai kapan pun, institusi-institusi pendidikan berpeluang besar mengarahkan kehidupan umat manusia agar sungguh-sungguh berbingkai sastra. Didukung oleh proses-proses pembelajaran yang berlangsung secara formal, justru memungkinkan dunia pendidikan berfungsi secara signifikan sebagai ladang subur persemaian sastra. Secara prinsip, dunia pendidikan sengaja membentuk kompetensi penguasaan sastra di kalangan peserta didik. Dalam konteks ini, pembelajaran tentang sastra dikait-hubungkan dengan seluruh mata pelajaran. Setiap mata pelajaran ditemukan celah-celahnya untuk memasukkan substansi sastra.

Pembelajaran tentang sastra lalu mencakup tiga aspek pokok. Pertama, membentuk tradisi kritis di kalangan guru dan murid melalui intensitas apresiasi terhadap karya-karya sastra. Kedua, memfasilitasi peserta didik yang memang berhasrat menciptan karya-karya sastra. Ketiga, mengukuhkan pola pembelajaran secara interdispliner dengan memasukan substansi sastra sebagai salah satu elemennya.

Jika tiga aspek pembelajaran ihwal sastra itu gagal diejawantahkan, maka dapat dipastikan dunia pendidikan jauh panggang dari api dalam hal berperan aktif memformat kehidupan umat manusia agar berbingkai sastra. Bukan saja kemudian sastra terus-menerus dipersepsi secara sempit semata sebagai bagian dari pelajaran bahasa. Lebih tragis lagi dari itu sastra dipersesi sebagai teks dan narasi nirmakna, tanpa makna. Hingga di sini lalu tampak adanya keanehan, betapa sastra diterbengkalaikan kapasitasnya dalam memberikan pemaknaan terhadap penderitaan umat manusia.[]