Wednesday, October 30, 2013

Pendidikan Melawan Kemunafikan

PENDIDIKAN MELAWAN KEMUNAFIKAN

SEBAGAI bangsa, sebenarnya Indonesia terombang-ambing di samudera kemunafikan. Bahkan, corak dan format kemunafikan itu begitu puspa ragam. Dampak buruknya juga sangat dahsyat. Karena itu pula, muncul pertanyaan kritis. Mungkinkah pendidikan mampu melawan kemunafikan?

Puspa ragam kemunafikan itu dapat ditelisik pada fakta yang begitu terang benderang. Pertama, kemunafikan hadir sebagai reperkusi maraknya korupsi dalam tata kelola pemerintahan. Baik para birokrat maupun kaum politikus berjibaku melanggengkan korupsi dalam ranah pemerintahan di berbagai lini. Hingga kemudian timbul kejanggalan tiada tara: Memahami korupsi sebagai minyak pelumas yang dipersepsi menjamin kelangsungan perputaran roda pemerintahan. Amanat penderitaan rakyat lalu mandeg sekadar pemanis dalam serangkaian retorika politik. 

Kedua, kemunafikan bertali-temali dengan dangkalnya visi dakwah keagamaan di televisi. Para perancang dakwah keagamaan di televisi terjerembab ke dalam pusaran ego kompetisi untuk hanya memenangkan ketenaran, rating dan popularitas berefek finansial. Ke hadapan publik, dakwah keagamaan televisi gagal menyuguhkan pencerahan hakiki demi terbentuknya bangsa berakhlak mulia. Dakwah keagamaan majal oleh kegagapan mencerabut hingga ke akar-akarnya patologi sekularisme, pragmatisme, hedonisme dan materialisme. Malah, dakwah televisi bergeser menjadi ajang dagelan hampa makna, penuh dengan laku cengingisan.

Ketiga, kemunafikan terkukuhkan oleh pengedepanan egoisme di balik argumentasi-argumensi yang dikamuflase logis-rasional. Media massa diwarnai oleh perang argumentasi tegaknya keadilan, demokrasi, dan reformasi. Tapi anehnya, argumentasi-argumentasi itu menghamba pada egoisme para tokoh yang menyuarakannya. Perang argumentasi bermuara pada tawar-menawar kepentingan egoistik, yang kabur kaitannya dengan terwujudnya harkat, martabat dan kedaulatan rakyak. Bukan saja tak berdimensi edukatif, perang argumentasi hanyalah artikulasi secara telanjang motif parsial-partikular "wani piro", yang sungguh memuakkan.

Disadari atau tidak, kita lalu menjadi bangsa laknat. Trio kemunafikan di atas memunculkan implikasi rumit dan kompleks, yaitu terciptanya psiko-sosial yang sakit. Generasi muda mencerap trio kemunafikan itu sebagai banalitas hidup yang layak diterima sebagai pandangan dunia (Weltanschauung). Tak mengherankan jika tawuran pelajar dan seks bebas di kalangan pelajar mengacu pada trio kemunafikan tersebut.

Demi menyelamatkan generasi muda dari kehancuran jati diri berdimensi eksistensial, maka kinilah saatnya bagi dunia pendidikan menabuh genderang perlawanan. Pedagogi, mutlak diperlakukan sebagai strategi meruntuhkan habitus kemunafikan itu. Ini berarti, revitalisasi pendidikan diarahkan sebagai upaya serius rehabilitasi pedagogi. Hal fundamental yang lantas niscaya dilakukan adalah implementasi pedagogi kembar. Pada satu sisi, pedagogi fokus membangun kesadaran ihwal kemuliaan manusia. Pada lain sisi, pedagogi merajut kesadaran tentang bahaya bercokolnya musuh hakiki: Barisan komprador kemunafikan.

Pedagogi ihwal "kemuliaan manusia" berisikan pengakuan dan pembuktian, bahwa manusia merupakan mahluk paling mulia di alam semesta, namun nista bilamana munafik. Kemenyatuan akal dan ruhani merupakan variabel penentu kemuliaan seorang manusia. Optimalisasi fungsi akal diperlakukan secara elegan berbanding lurus dengan pematangan dan penyempurnaan ruhani. Pendidikan mencetak keluhuran budi: Kecerdasan akal dikondisikan seiring sejalan dengan kecerdasan ruhani. Akal dan ruhani diaksiomakan berjalin kelindan satu sama lain.

Pedagogi tentang "musuh hakiki manusia" justru mengharuskan dunia pendidikan berani mengoreksi kesalahan konsepsi persaudaraan universal. Bahwa persaudaraan universal tidak mencakup anasir-anasir kemunafikan. Tidak ada persaudaraan universal jika tidak dalam rangka "kemenyatuan akal dan ruhani" dalam peradaban dan kebudayaan. Pendidikan benar-benar didedahkan sebagai garda besar perlawanan terhadap kemunafikan.

Maka, pendidikan memasuki etape baru kesadaran: Memperbedakan kawan dan lawan. Demikianlah hakikat pendidikan kini, melawan kemunafikan.[]

Anwari WMK

No comments:

Post a Comment