Wednesday, October 23, 2013

Lelang Jabatan Kepala Sekolah

LELANG JABATAN KEPALA SEKOLAH

DALAM lingkup sekolah-sekolah negeri saja, kompleksitas mewarnai tata kelola pendidikan di seantero DKI Jakarta. Bagaimana tidak? Jumlah total sekolah-sekolah negeri yang tersebar di teritori DKI Jakarta mencapai 2.669 sekolah, dengan rincian: SD sebanyak 2.200 sekolah, SMP 289 sekolah, SMA 117 sekolah, dan SMK 63 sekolah. Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama menyimpulkan, bahwa banyak dari sekolah negeri itu terseok-seok eksistensinya sebagai pusaran masalah. Tanpa tedeng aling-aling, tawuran, penyiraman air keras, dan perbuatan mesum, muncul sebagai problematika edukatif di sekolah-sekolah negeri.

Solusi atas masalah-masalah tersebut, menurut Wakil Gubernur, adalah revitalisasi secara mendasar peran, fungsi, dan kedudukan kepala-kepala sekolah. Sudah tidak relevan lagi jika keberadaan kepala-kepala sekolah dimengerti secara sempit semata sebagai jabatan, seperti lazim dipersepsi selama ini. Jauh lebih penting lagi dari itu, kepala sekolah diperlakukan sebagai sebuah posisi yang terhormat karena pada dirinya melekat tanggung jawab terwujudnya akuntabilitas pencerdasan anak-anak bangsa. Atas dasar ini pula, maka lelang jabatan kepala-kepala sekolah negeri dinilai urgen dan mendesak. Seorang guru diberi jabatan kepala sekolah bukan berdasarkan alasan like and dislike, tetapi lantaran memiliki wawasan akademik yang mumpuni, kematangan jiwa dan kewibawaan kepemimpinan.

Manakala dikaitkan dengan makna penting pendidikan dalam peradaban, maka lelang jabatan kepala sekolah merupakan keputusan politik yang elok didukung. Dengan latar belakang peradaban urban-megapolitan yang senantiasa dinamis-dialektis, pendidikan di seantero Jakarta sesungguhnya berada dalam satu titik pertaruhan. Artinya, mutlak bagi institusi-institusi pendidikan tampil ke depan sebagai lokomotif kemajuan masyarakat urban-megapolitan, memasuki etape-etape baru kehidupan. Tantangan ini hanya mungkin bisa dijawab secara elegan oleh institusi-institusi pendidikan, yakni manakala terdapat kejelasan akuntabilitas kepemimpinan kepala sekolah. Agar pendidikan berwibawa sebagai pilar peradaban, maka mustahil hadirnya pribadi-pribadi rapuh pengendali jabatan kepala sekolah.

Jika institusi-institusi pendidikan melaju ke depan haluan zaman dengan dikawal secara kuat oleh kepemimpinan mumpuni kepala-kepala sekolah, maka dua hal dapat tercapai. Pertama, terpenuhinya tuntutan agar murid tumbuh sebagai pribadi bermoral, berkarakter serta memiliki kecerdasan emosional. Kepala sekolah dalam konteks ini merupakan eksistensi pokok, penentu lahirnya generasi baru bangsa yang menjunjung tinggi integritas. Kedua, institusi pendidikan mengukuhkan dirinya sebagai pusat akumulasi dan penyebaran ilmu pengetahuaan secara bermartabat. Kepemipinan seorang kepala sekolah lalu identik dengan kepemimpinan penguasan ilmu pengetahuan dalam maknanya yang hakiki.

Sejatinya, isu lelang jabatan kepala sekolah negeri diselamatkan dari bahaya cara pandang penuh kegusaran terhadap politik pendidikan di DKI Jakarta seperti yang berlangsung selama ini. Fakta bahwa sejauh ini kepala-kepala sekolah merupakan esensi yang tak signifikan bagi pendidikan yang mencerahkan, cukup sudah dicatat secara saksama sebagai "arkeologi kegagapan" dunia pendidikan [khususnya di sekolah-sekolah negeri]. Kini sudah saatnya kita serius memikirkan "makna hakiki jabatan kepala sekolah" dalam hubungannya dengan hakikat pendidikan sebagai pilar peradaban. Bahwa tugas fundamental kepala-kepala sekolah adalah merumuskan titik perjumpaan dua varibel pemanusiaan manusia. Variabel pertama adalah kompleksitas keilmuan, sedangkan variabel kedua adalah pembangunan karakter.

Dalam praksis kepemimpinan kepala sekolah terdapat aksioma edukatif yang integratif. Kepemimpinan kepala sekolah mensinergikan secara elegan dua hal fundamental, yaitu kompleksitas keilmuan dan pembangunan karakter. Kebiasaan mencerai beraikan dua hal ini harus segera diakhiri. Tradisi penguasaan ilmu yang menjunjung integritas berimplikasi langsung pada pembangunan karakter. Lelang jabatan berdayaguna mengejawantahkan aksioma tersebut.[]

Anwari WMK

No comments:

Post a Comment