Monday, October 21, 2013

Antara Kebudayaan dan Pembangunan

ANTARA KEBUDAYAAN DAN PEMBANGUNAN

BAGAIMANA sesungguhnya hubungan antara kebudayaan dan pembangunan? Bagaimana dunia pendidikan memahami saling hubungan antara kebudayaan dan pembangunan? Mana yang terlebih dahulu niscaya dijadikan dasar dalam hubungan tersebut?

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka sejak era Orde Baru. Dan kini setelah Orde Baru berlalu tersapu angin sejarah, pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali berkumandang.

Di Bali pada 24 hingga 27 November 2013, diselenggarakan World Culture Forum (WCF). Simposium internasional yang menjadi bagian dari perhelatan WCF tersebut mengangkat enam topik, yaitu: (1) Holistic Approaches to Culture in Development, (2) Civil Society and Cultural Democracy, (3) Creativity and Cultural Economics, (4) Culture in Environment Sustainability, (5) Sustainability Urban Development, (6) Interfaith Dialoque and Community Building.

Topik-topik tersebut tersusun sebagai konsekuensi logis dari hadirnya perspektif sempit terhadap kebudayaan. Topik-topik tersebut merefleksikan kelirunya kesadaran bahwa "kebudayaan merupakan pendukung pembangunan".

Kebudayaan didudukkan secara pasif sebagai pemberi legitimasi terhadap penyelenggaraan pembangunan. Kebudayaan dikelola untuk membentuk manusia dengan mentalitas pembangunan. Inilah kesadaran yang memandang bahwa tidak ada gunanya kebudayaan, jika ternyata gagal menyokong sukses pembangunan ekonomi dan politik.

Bagi dunia pendidikan, cara pandang ini tidak patut diadopsi untuk membentuk kesadaran kebudayaan dalam diri manusia. Cara pandang ini tidak layak dijadikan paradigma edukasi. Itu karena, kebudayaan diposisikan secara sempit sebagai subordinasi dari pembangunanisme. Kebudayaan hanya diletakkan sebagai catatan kaki dalam totalitas gemuruh pembangunanisme. Kebudayaan hanya diposisikan sebagai pendorong "mobil mogok" pembangunanisme.

Dalam kompleksitas kehidupan abad XXI kini, kebudayaan justru merupakan lingkaran besar pembentuk atmosfer kehidupan yang bermartabat. Tak mencukupinya satu disiplin ilmu memecahkan masalah-masalah kongkret, meniscayakan adanya dua hal. Pertama, hadirnya pendekatan interdisipliner yang dirajut secara rapih oleh filsafat, sehingga interdisipliner berdaya guna memecahkan masalah-masalah riil berbasis ilmu pengetahuan. Kedua, rajutan filosofis berbagai disiplin ilmu mutlak berada dalam lingkaran besar kebudayaan. Agar, solusi masalah berbasis ilmu pengetahuan tak terjebak ke dalam rasionalisme dan empirisme yang meluluhlantakkan kemanusiaan.

Jelas pada akhirnya, kebudayaan bukankah pemberi legitimasi kepada pembangunanisme, kebudayaan justru berkedudukan sebagai pengarah dan pengawas terhadap seluruh proses pembangunanisme. Modal kebudayaan bersukmakan keadilan, kemanusiaan dan keindahan diperlakukan sebagai kekuatan besar untuk menelisik secara kritis arti dan makna pembangunanisme. Sehingga dengan demikian terdapat kejelasan skema. Pada satu sisi, pembangunanisme merupakan implikasi logis dari adanya jalinan filosofis interdisipliner. Pada lain sisi, akselerasi pembangunanisme diawasi secara kritis oleh kebudayaan.

Maka, bagi dunia pendidikan, tak mungkin pula kebudayaan terus-menerus dimengerti secara terbatas sebagai seni. Kubudayaan mutlak dipahami sebagai sistem nilai yang menjamin pemanusiaan manusia. Sejatinya, kebudayaan dipahami secara jernih sebagai penjamin kemerdekaan manusia dari belenggu penistaan, penindasan, perbudakan. Jika ternyata pembangunanisme hanya melahirkan penistaan, penindasan dan perbudakan, maka kebudayaan tampil sebagai kekuatan koreksi yang kritikal terhadap praksis pembangunanisme. Paradigma inilah yang patut dan layak diadopsi oleh dunia pendidikan.

Kita musti jujur mengakui bersimaharajalelanya dua pilar kezaliman masa kini, yaitu demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal. Penderitaan jutaan umat manusia dalam nestapa kemiskinan struktural dihela oleh gemuruh perguliran demokrasi liberal dan ekonomi neoliberal. Tragisnya lagi, pembangunanisme merupakan hamparan luas bagi tumbuh suburnya dua pilar kezaliman tersebut. Malapetaka tiada tara jika ternyata kebudayaan hanya memberi pembenaran terhadap pembangunanisme yang sedemikian rupa itu.

Maka, pendidikan harus memiliki kejelasan paradigma kebudayaan.[]

Anwari WMK

No comments:

Post a Comment