Showing posts with label pendidikan. Show all posts
Showing posts with label pendidikan. Show all posts

Monday, August 19, 2013

Tantangan Ilmu Hayati

TANTANGAN ILMU HAYATI

Oleh Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan, Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

PERKEMBANGAN terbaru ilmu hayati (life science) di Indonesia patut dicatat secara saksama. Institut Teknologi Bandung (ITB) berencana menjadikan Kampus Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, sebagai ajang penyelenggaraan kegiatan akademis yang fokus pada pengembangan ilmu-ilmu hayati. Kampus seluas 47 hektar itu mengembangkan rekayasa pertanian, perhutanan, bioenergi, dan sebagainya. Dari keberadaan ITB secara keseluruhan, Kampus Jatinangor benar-benar diposisikan sebagai pusat pengembang ilmu hayati. Dari sini pula publik patut berharap, bahwa seluruh upaya pengembangan ilmu hayati tersebut benar-benar berimplikasi positif terhadap Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Sebagaimana diketahui, ilmu hayati semakin berperan signifikan dalam hal membentuk kesadaran baru kehidupan. Melalui pendaya-gunaan ilmu hayati, manusia semakin didekatkan pada pemahaman secara holistik terhadap seluruh hakikat yang terkait dengan mahluk hidup. Sementara dalam jangka panjang, keberadaan mahluk hidup bertautan erat dengan ekosistem.

INTERDISIPLINER

Sebagai sebuah kerangka studi terhadap organisme, ilmu hayati bersinggungan dengan berbagai macam aspek ekosistem dalam satu hamparan geografis yang spesifik. Lingkungan fisis serta berbagai macam pola interaksinya dengan mahluk hidup telah mencetuskan tolak ukur spesifik kebermaknaan hidup manusia. Melalui pemahaman terhadap ilmu hayati, manusia dapat meningkatkan kualitas hidup dan standar hidup.

Dalam pengertiannya secara sederhana, ilmu hayati merupakan sebuah kerangka kerja ilmiah yang mengkaji keberadaan mikroorganisme, tumbuhan, binatang dan aspek biologis manusia. Tapi dalam pengertiaannya yang kompleks, ilmu hayati mencakup ontologi yang luas, beragam, dan multiperspektif. Ilmu hayati dalam pengertian sempit dan luas itu penting disimak, agar ia berperan sebagai faktor fundamental peningkatan kualitas hidup manusia dan peningkatan standar hidup manusia.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari, manusia terus-menerus diperhadapkan dengan arti penting kesehatan, pertanian, pengobatan, farmasi, pangan dan industri. Semua ini berubah menjadi tantangan, dan bahkan persoalan, jika tak tertangani dengan baik. Dan untuk dapat menangani dengan baik, maka dibutuhkan memahaman secara akademik-filosofis. Dengan demikian berarti, ilmu hayati merupakan sebuah rumpun ilmu pengetahuan yang keberadaannya amat sangat relevan dengan kehidupan manusia.

Diperhadapkan dengan tantangan kehidupan abad XXI kini, makna penting ilmu hayati tampak kian menonjol. Mengabaikan ilmu-ilmu hayati sama saja dengan mengabaikan kehidupan itu sendiri. Sungguh pun demikian, sebuah catatan penting dikemukakan sebagai upaya kontemplasi.

Betapa pun sangatlah jelas relevansi ilmu hayati dalam hubungannya dengan keberadaan manusia, penanganannya tidak mungkin secara sambil lalu. Ilmu hayati mutlak ditangani secara serius dengan mempertimbangkan seluruh faktor obyektif yang menyertainya.  Artinya, kita tak dapat mengelak dari kemestian, bahwa dalam perkembangannya yang lebih mutakhir, ilmu hayati bersinggungan dengan disiplin ilmu pengetahuan yang lain.

Agar sepenuhnya maslahat bagi kehidupan umat manusia, ilmu hayati mutlak dimengerti sebagai ilmu pengetahuan berwatak interdisipliner. Biologi molekular, misalnya, kini merupakan mercusuar yang menandai masuknya ilmu hayati ke dalam spektrum ilmu pengetahuan interdisipliner. Penguasaan ilmu hayati meniscayakan kukuhnya pemahaman terhadap disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Dengan kata lain, kerja-kerja akademik yang termaktub di dalamnya berada dalam spektrum luas hubungan antar-disiplin ilmu pengetahuan. Pada satu sisi, biologi molekular merupakan cabang dari biologi. Tapi pada lain sisi, aktualisasinya untuk kemaslahatan hidup umat manusia berjalin kelindan dengan ilmu kimia, genetika dan biokimia.

Alasan pokok mengapa biologi molekular masuk ke dalam ranah interdisipliner, hal itu terkait erat dengan perannya sebagai ilmu pengetahuan yang terus-menerus berupaya memahami hakikat interaksi antarsel dari keberadaan mahluk hidup. Sedemikian rupa keberjalin kelindanan itu, sampai-sampai ilmuwan William Astbury (1889-1961) pada awal dekade 1960-an menyebut biologi molekuler sebagai ilmu pengetahuan dasar yang menjadi titik tolak bagi kerangka kerja akademik disiplin-disiplin ilmu pengetahuan lain.

DUA CATATAN

Dan apa yang kemudian penting kita catat adalah dua hal. Pertama, interdisipliner mutlak dimengerti sebagai sebuah kondisi yang meniscayakan ilmu hayati bersambung sinambung dengan falsafah dan psikologi. Kalau pun hingga sekarang ini kebersinambungan tersebut belum dirasakan secara mencolok, maka dalam etape waktu ke depan harus disadari bakal hadir membentuk kenyataan.

Kedua, institusi pendidikan tinggi selevel ITB tak cukup hanya memandang signifikan kemegahan kampus di Jatinangor. Lebih dari itu, ITB dituntut serius mengelaborasi berbagai macam model keterhubungan ilmu hayati dengan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan yang lain. Jika imperatif ini mampu diwujudkan, maka semakin jelas dan konkret kontribusi ITB dalam hal peningkatan kualitas hidup dan standard hidup bangsa Indonesia.

Kita kini berada dalam tuntutan yang tak kepalang tanggung. Bahwa, sudah saatnya berdiri sebuah kampus pendidikan tinggi yang memang serius dicanangkan sebagai center of excellence rekayasa pertanian, perhutanan dan bioengineering untuk kemaslahatan rakyat dan bangsa Indonesia.[]

Wednesday, April 24, 2013

Tiga Sukma Solidaritas

TIGA SUKMA SOLIDARITAS

Oleh
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

AKSI kekekerasan tak habis-habisnya berlangsung di Indonesia, dan terus-menerus mewarnai ruang publik, serta dicerna oleh jutaan pemirsa televisi, pendengar radio, dan pembaca surat kabar. Bahkan atas nama solidaritas corp, kekerasan didentumkan menjadi peristiwa tragis yang berujung kematian dan pengorbanan nyawa. Begitulah seperti yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Belasan anggota Kopasus datang di malam hari, dan lalu membunuh empat narapida dari kalangan preman, sebagai aksi balas dendam. Sebab, sebelum peristiwa tersebut tergelar, seorang anggota Kopasus terbunuh oleh pengeroyokan empat orang preman itu.

Bercermin pada peristiwa ini, solidaritas ternyata mustahil bebas nilai. Aksi dengan orientasi apa pun bisa menggunakan solidaritas sebagai dasar pijakan. Tindakan dengan pandangan dunia apa pun dengan sangat mudah mengeksploitasi solidaritas. Bukan hanya altruisme, kebengisan pun amat sangat terbuka dirajut menjadi aksi kolektif dengan mengatasnamakan solidaritas. Maka, penting untuk kemudian menyuguhkan sebuah referensi kesadaran bagi dunia pendidikan, demi mendudukkan makna hakiki solidaritas dalam realitas hidup kolektif.

Sampai kapan pun, manusia sebagai mahluk sosial senantiasa membutuhkan solidaritas. Bermakna tidaknya hidup umat manusia, turut ditentukan oleh solidaritas. Jika solidaritas berada dalam satu titik kecenderungan untuk hanya memperluas dan memperdalam kebengisan, maka solidaritas mengikis habis segenap makna kebajikan dalam realitas hidup umat manusia. Sebaliknya jika solidaritas memperkukuh kemaslahatan, maka hidup umat manusia bermakna. Itulah mengapa, ada tiga sukma solidaritas.

Pertama, solidaritas berkaitan erat dengan pengerahan talenta-talenta. Sebagaimana diketahui, talenta merupakan bakat bawaan individual sejak sang manusia dilahirkan ke muka Bumi. Talenta merupakan semesta potensialitas yang inherent dalam diri manusia, serta berkedudukan sebagai faktor personal yang memang memungkinkan sang manusia mampu memberi kontribusi signifikan terhadap tegaknya peradaban adiluhung. Sejatinya, solidaritas dirajut untuk tujuan mulia pengerahan talenta-talenta. Solidaritas sengaja diperlakukan sebagai corak respons untuk melempangkan jalan seluas-luasnya demi teraktualisasikannya talenta-talenta.

Kedua, solidaritas dirancang bangun meraih keunggulan dalam bidang teknologi. Solidaritas untuk keperluan ini mengacu pada filosofi, bahwa teknologi merupakan dimensi yang bertautan erat dengan penerapan ilmu pengetahuan. Dalam teknologi termaktub metode ilmiah yang dimaksudkan untuk menggapai tujuan-tujuan mulia hidup umat manusia. Teknologi merupakan sarana agar manusia mampu meraih taraf hidup bermartabat. Maka, solidaritas untuk meraih kemajuan teknologi merupakan keharusan yang niscaya.

Ketiga, solidaritas dikerahkan untuk tujuan memperkukuh toleransi. Inilah imperatif yang memandang kemajemukan sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan karena itu pula kemajemukan diterima secara lapang dada dengan semangat dan kesadaran berwatak toleran. Kemajemukan dipersepsi secara sadar sebagai mosaik sosio-kultural agar hidup manusia benar-benar diwarnai oleh upaya saling memberi dan saling menerima puspa ragam kebajikan. Sejatinya, kemajemukan inilah yang sungguh-sungguh diperjuangkan keberadaannya, melalui solidaritas. Dengan tujuan memperkuat toleransi, solidaritas diperlakukan sebagai sikap hidup yang memberi makna kepada kemanusiaan.

Baik talenta, teknologi maupun toleransi (T3) merupakan satu kesatuan konteks yang dapat dikerahkan untuk membentuk satu model solidaritas bagi tumbuhnya altruisme. Sejalan dengan dinamika kehidupan abad XXI, T3 ini niscaya untuk saling bersenyawa satu sama lain (Richard Florida, The Rise of Creative Class, 2002). Dunia pendidikan merupakan ranah pembelajaran untuk menemukan point-point persenyawaan T3. Pada upaya persenyawan T3 itulah, energi kreatif manusia dipalingkan dari kekerasan. Maka, dunia pendidikan dituntut sepenuhnya mampu membangun solidaritas kemanusiaan yang berpijak pada persenyawaan T3.[]

Monday, April 22, 2013

Kehidupan Berbingkai Sastra

KEHIDUPAN BERBINGKAI SASTRA

Oleh Anwari WMK

DARI generasi ke generasi, manusia senantiasa membutuhkan sastra. Meski pun tak sepenuhnya disadari, pada derajat tertentu, kebutuhan manusia terhadap sastra bersifat mutlak dan niscaya. Itu karena, pada satu sisi, sastra menyentuh kehidupan umat manusia dengan sangat lembut. Pada lain sisi, sastra terus-menerus menyingkap esoterisme kehidupan umat manusia. Sastra hadir dalam jiwa manusia dengan keindahan narasi.

Sulit membantah kenyataan, bahwa di sepanjang perjalanan hidupnya manusia takkan sepenuhnya bebas dari penderitaan. Tak ada garansi di Planet Bumi ini manusia bakal terus hidup damai sentosa. Pada setiap lipatan waktu, selalu timbul problema human suffering. Malahan, peradaban mewujud sebagai refleksi atau renungan manusia secara sublimatif terhadap penderitaan. Artinya, penderitaan telah sedemikian rupa hadir pada proses pendewasaan manusia dalam totalitas dinamika peradaban.

Hanya saja, tidaklah gampang mengembangkan serangkaian inisiatif eksploratif agar penderitaan sepenuhnya tertransformasi menjadi salah satu elemen tegaknya peradaban. Dibutuhkan kemampuan untuk melakukan pemaknaan terhadap penderitaan. Manakala hidup ini kosong dari upaya-upaya pemaknaan, maka penderitaan hanya mengglorifikasi atau mencetuskan nuansa-nuansa apatisme dan keputusasaan. Masyarakat yang gagal memberi makna pada penderitaan adalah masyarakat yang sesungguhnya rentan untuk terus-menerus terseret ke dalam kubangan krisis. Tanpa pemaknaan, penderitaan mandek sekadar sebagai ratapan-ratapan bersenandung pilu, yang sama sekali tak inspiratif.

Sastra, ternyata, merupakan pilar humaniora yang di dalamnya termaktub pemaknaan terhadap penderitaan. Melalui sastra, manusia menyelami penderitaan hingga ke akar-akarnya, tanpa harus terjebak ke dalam pusaran jiwa yang hanya berlumur kecengengan. Sejurus dengan itu, penderitaan dan jalan keluar terhadap penderitaan dinarasikan oleh karya-karya sastra melalui keindahan kata-kata. Tragedi demi tragedi yang menohok eksistensi umat manusia lalu terucapkan dengan penuh kewibawaan, penuh karakter. Betapa dengan sastra, penderitaan umat manusia tertorehkan sebagai dialektika jiwa yang begitu mempesona.

Pertanyaannya kemudian, mungkinkah keseluruhan realitas hidup umat manusia sepenuhnya berbingkai sastra? Apa yang seharusnya dilakukan agar kehidupan termaknai seluruh hakikatnya melalui sastra? Apakah institusi-institusi pendidikan pada berbagai tingkatan benar-benar digdaya menggiring umat manusia menjadi berkarakter melalui terbentuknya kehidupan berbingkai sastra?

Sampai kapan pun, institusi-institusi pendidikan berpeluang besar mengarahkan kehidupan umat manusia agar sungguh-sungguh berbingkai sastra. Didukung oleh proses-proses pembelajaran yang berlangsung secara formal, justru memungkinkan dunia pendidikan berfungsi secara signifikan sebagai ladang subur persemaian sastra. Secara prinsip, dunia pendidikan sengaja membentuk kompetensi penguasaan sastra di kalangan peserta didik. Dalam konteks ini, pembelajaran tentang sastra dikait-hubungkan dengan seluruh mata pelajaran. Setiap mata pelajaran ditemukan celah-celahnya untuk memasukkan substansi sastra.

Pembelajaran tentang sastra lalu mencakup tiga aspek pokok. Pertama, membentuk tradisi kritis di kalangan guru dan murid melalui intensitas apresiasi terhadap karya-karya sastra. Kedua, memfasilitasi peserta didik yang memang berhasrat menciptan karya-karya sastra. Ketiga, mengukuhkan pola pembelajaran secara interdispliner dengan memasukan substansi sastra sebagai salah satu elemennya.

Jika tiga aspek pembelajaran ihwal sastra itu gagal diejawantahkan, maka dapat dipastikan dunia pendidikan jauh panggang dari api dalam hal berperan aktif memformat kehidupan umat manusia agar berbingkai sastra. Bukan saja kemudian sastra terus-menerus dipersepsi secara sempit semata sebagai bagian dari pelajaran bahasa. Lebih tragis lagi dari itu sastra dipersesi sebagai teks dan narasi nirmakna, tanpa makna. Hingga di sini lalu tampak adanya keanehan, betapa sastra diterbengkalaikan kapasitasnya dalam memberikan pemaknaan terhadap penderitaan umat manusia.[]