Wednesday, April 24, 2013

Tiga Sukma Solidaritas

TIGA SUKMA SOLIDARITAS

Oleh
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

AKSI kekekerasan tak habis-habisnya berlangsung di Indonesia, dan terus-menerus mewarnai ruang publik, serta dicerna oleh jutaan pemirsa televisi, pendengar radio, dan pembaca surat kabar. Bahkan atas nama solidaritas corp, kekerasan didentumkan menjadi peristiwa tragis yang berujung kematian dan pengorbanan nyawa. Begitulah seperti yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Belasan anggota Kopasus datang di malam hari, dan lalu membunuh empat narapida dari kalangan preman, sebagai aksi balas dendam. Sebab, sebelum peristiwa tersebut tergelar, seorang anggota Kopasus terbunuh oleh pengeroyokan empat orang preman itu.

Bercermin pada peristiwa ini, solidaritas ternyata mustahil bebas nilai. Aksi dengan orientasi apa pun bisa menggunakan solidaritas sebagai dasar pijakan. Tindakan dengan pandangan dunia apa pun dengan sangat mudah mengeksploitasi solidaritas. Bukan hanya altruisme, kebengisan pun amat sangat terbuka dirajut menjadi aksi kolektif dengan mengatasnamakan solidaritas. Maka, penting untuk kemudian menyuguhkan sebuah referensi kesadaran bagi dunia pendidikan, demi mendudukkan makna hakiki solidaritas dalam realitas hidup kolektif.

Sampai kapan pun, manusia sebagai mahluk sosial senantiasa membutuhkan solidaritas. Bermakna tidaknya hidup umat manusia, turut ditentukan oleh solidaritas. Jika solidaritas berada dalam satu titik kecenderungan untuk hanya memperluas dan memperdalam kebengisan, maka solidaritas mengikis habis segenap makna kebajikan dalam realitas hidup umat manusia. Sebaliknya jika solidaritas memperkukuh kemaslahatan, maka hidup umat manusia bermakna. Itulah mengapa, ada tiga sukma solidaritas.

Pertama, solidaritas berkaitan erat dengan pengerahan talenta-talenta. Sebagaimana diketahui, talenta merupakan bakat bawaan individual sejak sang manusia dilahirkan ke muka Bumi. Talenta merupakan semesta potensialitas yang inherent dalam diri manusia, serta berkedudukan sebagai faktor personal yang memang memungkinkan sang manusia mampu memberi kontribusi signifikan terhadap tegaknya peradaban adiluhung. Sejatinya, solidaritas dirajut untuk tujuan mulia pengerahan talenta-talenta. Solidaritas sengaja diperlakukan sebagai corak respons untuk melempangkan jalan seluas-luasnya demi teraktualisasikannya talenta-talenta.

Kedua, solidaritas dirancang bangun meraih keunggulan dalam bidang teknologi. Solidaritas untuk keperluan ini mengacu pada filosofi, bahwa teknologi merupakan dimensi yang bertautan erat dengan penerapan ilmu pengetahuan. Dalam teknologi termaktub metode ilmiah yang dimaksudkan untuk menggapai tujuan-tujuan mulia hidup umat manusia. Teknologi merupakan sarana agar manusia mampu meraih taraf hidup bermartabat. Maka, solidaritas untuk meraih kemajuan teknologi merupakan keharusan yang niscaya.

Ketiga, solidaritas dikerahkan untuk tujuan memperkukuh toleransi. Inilah imperatif yang memandang kemajemukan sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan karena itu pula kemajemukan diterima secara lapang dada dengan semangat dan kesadaran berwatak toleran. Kemajemukan dipersepsi secara sadar sebagai mosaik sosio-kultural agar hidup manusia benar-benar diwarnai oleh upaya saling memberi dan saling menerima puspa ragam kebajikan. Sejatinya, kemajemukan inilah yang sungguh-sungguh diperjuangkan keberadaannya, melalui solidaritas. Dengan tujuan memperkuat toleransi, solidaritas diperlakukan sebagai sikap hidup yang memberi makna kepada kemanusiaan.

Baik talenta, teknologi maupun toleransi (T3) merupakan satu kesatuan konteks yang dapat dikerahkan untuk membentuk satu model solidaritas bagi tumbuhnya altruisme. Sejalan dengan dinamika kehidupan abad XXI, T3 ini niscaya untuk saling bersenyawa satu sama lain (Richard Florida, The Rise of Creative Class, 2002). Dunia pendidikan merupakan ranah pembelajaran untuk menemukan point-point persenyawaan T3. Pada upaya persenyawan T3 itulah, energi kreatif manusia dipalingkan dari kekerasan. Maka, dunia pendidikan dituntut sepenuhnya mampu membangun solidaritas kemanusiaan yang berpijak pada persenyawaan T3.[]

No comments:

Post a Comment