Tuesday, April 23, 2013

Substansi, Bukan Simbol

SUBSTANSI, BUKAN SIMBOL

Oleh Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Jubilee School, Sunter, Jakarta

HINGGA kini, tak habis-habisnya ruang publik disuguhi pemberitaan pers tentang penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara. Paling tidak sejak era pasca-Orde Baru, penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara tersebut telah sedemikian rupa mencuat sebagai fenomena. Para pejabat negara tampak hebat dan dahsyat saat berada di atas panggung penerimaan gelar honoris causa. Ruang publik benar-benar diwarnai tontonan betapa sempurnanya eksistensi pejabat negara itu setelah meraih gelar honoris causa.

Tapi, di sini, mencuat problema eksistensial, yaitu seberapa jelas dan konkret hubungan antara gelar honoris causa pada satu sisi dan karya-karya akademik yang maslahat bagi kehidupan pada lain sisi. Apa yang terjadi jika para pejabat penyandang gelar honoris causa itu ternyata tak menyumbang apa-apa terhadap besarnya kebutuhan lahirnya karya-karya akademik yang maslahat? Bagaimana jika ternyata gelar honoris causa itu hanyalah simbolik belaka?

Tentu saja, tak ada yang keliru dengan simbol-simbol. Sebagai homo kultural, manusia takkan pernah bisa lari dari simbol-simbol. Sejalan dengan sensibilitas kultural, manusia membutuhkan simbol-simbol. Dalam tilikan kultural, teridentifikasi begitu banyaknya satuan-satuan simbol yang dibutuhkan sebagai penanda eksistensi manusia. Cuma saja, sekali pun tergolong mahal, hakikat dari simbol itu hanyalah pelengkap eksistensi semata. Tak lebih dan tak kurang.

Secara kategoris, simbol senantiasa ekuivalen dengan bentuk, dan substansi analog dengan isi. Masalahnya kini, muncul desakan untuk dengan segera melakukan transformasi kebangsaan. Dalam perubahan-perubahan besar abad XXI, para pejabat negara nyata-nyata diperhadapkan dengan pilihan logis-rasional. Bagaimana eksistensi mereka mencuat ke permukaan dengan lebih mengedepankan substansi ketimbang simbol. Eksistensi pejabat negara pada abad XXI, lebih terkait dengan isi ketimbang bentuk.

Pada akhirnya kita tak bisa mengelak dari tuntutan-tuntutan logis. Lebih pentingnya isi ketimbang bentuk sesungguhnya berkaitan erat dengan keniscayaan Indonesia sebagai bangsa besar yang seharusnya mandiri. Besarnya kekayaan sumber daya alam dan besarnya jumlah penduduk merupakan faktor unggulan yang memungkinkan Indonesia sepenuhnya mandiri sebagai bangsa. Tapi kita tahu, selama ini faktor sumber daya alam dan demografi tak terkelola baik. Bahkan, dua faktor itu terbengkalai semrawut hingga lalu dirasakan sebagai kutukan dan beban.

Kuasa politik feodalistik merupakan penyebab pokok terbengkalainya dua faktor unggulan itu. Pada satu sisi, kuasa politik feodalistik terus-terus memosisikan rakyat semata sebagai pelengkap penderita pada keseluruhan relasi kekuasaan. Pada lain sisi, kuasa politik feodalistik lebih merasa absah manakala digdaya tampil di hadapan publik dengan mengutamakan simbol-simbol ketimbang substansi. Pelayanan publik yang tak pernah mumpuni justru lalu membuncah menjadi situasi umum yang tak memungkinkan pejabat negara trengginas dan cekatan melayani rakyat meraih kesejahteraan.

Implikasi strategisnya tampak mencolok pada tak adanya kerangka dan skema inovasi. Tata kelola masyarakat, pemerintahan dan perekonomian tak tersentuh inovasi. Kalau pun makna penting inovasi terus dipidatokan, inovasi ternyata berjalan tanpa landasan filosofi dan tanpa kejelasan arah menggapai kesejahteraan rakyat. Inovasi pun terjebak ke dalam orientasi simbolistik yang sama sekali tak substantif.

Situasi tak menguntungkan itu diperparah oleh timbulnya fenomena honoris causa. Para pejabat negara penerima gelar honoris causa sudah merasa cukup dengan gempitanya seremoni penganugerahan. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, misalnya, selama sembilan tahun terakhir telah menerima tujuh gelar honoris causa. Tapi sayang seribu sayang, sang presiden masih terjebak ke dalam pusaran simbolisme.[]

No comments:

Post a Comment