Friday, January 27, 2012

disorientasi pendidikan tinggi

DISORIENTASI PENDIDIKAN TINGGI

Oleh 
Anwari WMK

TENTU saja merupakan berita buruk jika perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka seperti UI, UGM dan ITB ternyata tak serius menjaring masuk siswa-siswa lulusan SMA yang menorehkan prestasi pada ajang olimpiade sains internasional (OSI). Fakta ketidakseriusan itu terkait dengan dua hal. Pertama, perguruan-perguruan tinggi favorit itu kurang proaktif memburu siswa-siswa berprestasi dalam ajang OSI. Malah, siswa berpresasi terbentur prosedur masuk perguruan tinggi negeri. Aneh bin ajaib, prosedur itu kaku dan sekaligus birokratis.


Kedua, PTN terkemuka hanya bersedia menerima siswa berprestasi sesuai dengan pencapaian dalam ajang OSI. Jika seorang siswa berprestasi OSI meraih medali untuk bidang fisika, maka sang siswa tak bakalan diterima tanpa tes masuk fakultas kedokteran. Dengan demikian berarti, PTN terkemuka membatasi pilihan program studi siswa-siswa berprestasi. Logikanya, siswa-siswa berprestasi itu diundang masuk PTN-PTN terkemuka sesuai dengan pilihan bebas masing-masing. Ternyata, siswa-siswa berprestasi itu harus mengikuti tes seleksi masuk PTN jika memilih program di luar disiplin ilmu yang berhasil dicapai dalam ajang OSI.

Sikap dan penyikapan PTN itu jelas merupakan keanehan. Bukankah jika masih dalam rumpun Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan matematika siswa-siswa berprestasi dalam bidang fisika sejatinya diterima masuk PTN? Alasan fundamental apa yang mengharuskan adanya paralelitas disiplin ilmu antara pencapaian dalam OSI dan pilihan program di perguruan tinggi? Bukankah dengan demikian berarti perguruan tinggi dalam kategori PTN dilanda problema rekrutmen mahasiswa baru? Ada apa sesungguhnya dengan PTN terkemuka?

Pada perguruan tinggi terkemuka di negara-negara lain muncul upaya saksama untuk dengan sungguh-sungguh menjaring siswa berprestasi dalam ajang OSI. Siswa berprestasi itu pun bukan saja diterima tanpa tes masuk. Lebih dari itu mereka diberi keleluasaan memilih program studi. Itulah yang dilakukan National University of Singapore dan Nanyang Technological University. Bahkan, dua perguruan tinggi terkenal di negeri jiran itu aktif memburu siswa-siswa berprestasi OSI yang berasal dari Indonesia (Kompas, 28 Desember 2011, hlm. 12).

Tentu tidaklah sulit menjawab teka-teki, mengapa PTN terkemuka di Indonesia tidak seaktif perguruan tinggi Singapura menjaring siswa berprestasi dan kemudian memberinya beasiswa. Dalam beberapa tahun terakhir ini, PTN terkemuka di Indonesia terjebak dan menjebakkan dirinya dalam labirin komersialisme. Terlebih lagi harus memberikan beasiswa saat menerima siswa-siswa berprestasi, PTN terkemuka lalu lebih memilih untuk tidak proaktif memberi kursi gratis kepada jagoan-jagoan OSI. Pada titik ini semakin kuat kesimpulan, bahwa PTN-PTN terkemuka itu telah sedemikian rupa bermetamorfosis menjadi institusi bisnis. Dalam situasi demikian, masuknya uang dalam jumlah besar dimengerti sebagai aspek yang jauh lebih penting dibandingkan dengan masuknya siswa-siswa berprestasi.

Jika terus ada pembiaran terhadap situasi serba komersialistik ini maka tak berlebihan jika kemudian disimpulkan: PTN-PTN terkenal semakin jauh terhempas problema disorientasi.[]

No comments:

Post a Comment