Friday, January 27, 2012

tantangan bonus demografi

TANTANGAN BONUS DEMOGRAFI

Oleh
Anwari WMK

PENDIDIKAN dan demografi merupakan dua hal yang berjalin kelindan. Politik pendidikan dan sistem pendidikan mustahil mengabaikan aspek demografi. Dengan demikian jelas spektrum hubungan antara pendidikan dan demografi. Kompleksitas demografi, langsung maupun tak langsung, berpengaruh luas terhadap penyelenggaraan pendidikan. Demografi merupakan salah satu kata kunci yang mutlak diperhatikan oleh praksis pendidikan di lapangan.


Dalam maknanya yang sederhana, “demografi” berarti struktur, jumlah dan perkembangan penduduk. Sebagai uraian dalam bentuk statistik, demografi menjelaskan situasi kependudukan dari sudut pandang sosial maupun politik. Demografi juga bersangkut paut dengan dinamika manusia secara distributif dalam suatu batas teritorial tertentu. Analisis kependudukan menurut perspektif demografi, berpijak pada berbagai macam kriteria. Dan “pendidikan”, merupakan salah satu kriteria dalam cakupan analisis demografi, selain kriteria “kewarganegaraan”, “agama”, “etnisitas”, dan sebagainya.

Hal yang kemudian penting disimak terkait erat dengan corak responsi dunia pendidikan, yaitu saat dunia pendidikan harus berhadapan dengan perkembangan baru demografi. Apakah sistem pendidikan dan kebijakan pendidikan mampu beradaptasi secara fleksibel sejalan dengan perubahan-perubahan demografis? Apa yang niscaya dilakukan agar dunia pendidikan sepenuhnya mampu berperan sebagai faktor solusi masalah demografis? Tentu saja, tidaklah mudah menjawab pertanyaan pelik ini. Tetapi dengan memerhatikan apa yang disebut “bonus demografi”, format dan corak pendidikan semestinya sudah dapat diprognosa dari sejak sekarang.

Bonus demografi dimaksud merupakan probabilitas yang bakal bergulir hingga ke masa depan, berdasarkan data dan proyeksi sebagai berikut. Pada tahun 1971, setiap 100 orang pekerja di Indonesia menanggung 86 anak. Pada tahun 2010, setiap 100 orang pekerja menanggung 51 anak. Jika realitas ini terus berlanjut hingga ke masa depan, maka selama kurun waktu tahun 2020 hingga 2030, setiap 100 orang pekerja menanggung 44 anak. Secara skematik, semua ini harus dimengerti sebagai tantangan ke arah peningkatan kualitas pendidikan.

Hal yang serta-merta dapat disimak dari bonus demografi ialah penciutan secara agregat jumlah anak usia sekolah. Dengan jumlah anak usia sekolah makin menurun secara kuantitatif, justru kualitas pendidikan mutlak untuk ditingkatkan. Hanya saja, timbul pertanyaan lain yang tak kalah krusialnya: siapa yang musti memikul beban tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan bermutu? Pemerintah atau masyarakat?

Mengacu pada imperatif yang termaktub dalam konstitusi, pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab memajukan dunia pendidikan, yang ditandai oleh peningkatan mutu pembelajaran. Masyarakat berada dalam posisi mendukung serangkaian prakarsa pemerintah untuk keperluan peningkatan mutu pendidikan. Ibarat orkestra, pemerintah merupakan dirijen pada keseluruhan upaya bangsa ini meningkatkan mutu pendidikan.

Tapi bercermin pada kenyataan yang ada kini, pemerintah setengah hati meningkatkan mutu pendidikan. Di tingkat nasional, tak ada terobosan signifikan penyelenggaraan pendidikan yang sungguh-sungguh mempertimbangkan bonus demografi. Berbagai agenda yang semula dicanangkan untuk memajukan dunia pendidikan, ternyata bermatrakan proyek komersialistik, sehingga tak terkola secara obyektif manakala dikait-hubungkan dengan bonus demografi.

Buruknya sarana dan prasarana pendidikan yang terus dirasakasn hingga kini dan secara telak memporak-porandakan mutu pendidikan, sangat besar kemungkinannya bakal terus bergulir hingga ke masa depan. Sekalipun sadar ada bunus demografi, pemerintah belum terlatih merancang bangun pendidikan yang bermutu. Belum terlatih. Belum.[]


No comments:

Post a Comment