Friday, January 27, 2012

dua kategori ilmu

DUA KATEGORI ILMU

Oleh
Anwari WMK

DARI dulu hingga kini, bahkan hingga ke masa depan, ilmu berada dalam dua kategori, yaitu ilmu yang diharapkan dan ilmu yang potensial. Ilmu yang diharapkan termaktub ke dalam berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, antropologi, kimia, fisika dan lain-lain. Sedangkan ilmu yang potensial adalah kemampuan setiap individu pencari ilmu dalam kaitannya dengan berpikir kritis, analitis serta kemampuan melakukan riset. Keberhasilan pendidikan pada berbagai tingkatan, sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari adanya kapasitas untuk mengukuhkan dua kategori ilmu tersebut secara bersamaan. Manakala gagal mewujudkan keduanya, maka proses-proses pendidikan terperosok ke dalam situasi hampa makna.


Sampai saat ini praksis pendidikan di Indonesia tak pernah sepi dari kritik, justru karena terjadi kepincangan. Siswa atau mahasiswa terlampau banyak dijejali berbagai macam ilmu yang diharapkan, namun tak cukup mumpuni menguasai ilmu yang potensial. Sebagai akibatnya, siswa atau mahasiswa mampu menghafal teori-teori disiplin ilmu. Tapi tragisnya, gagal mengembangkan pemikiran-pemikiran krititis, analitis serta lemah dalam hal riset. Jika siswa atau mahasiswa semacam ini meraih nilai bagus, maka keberhasilan itu semu belaka sifatnya. Artinya, keberhasilan itu tidak bersifat hakiki.

Kita tahu, ilmu yang diharapkan berada di luar diri individu-individu. Sedangkan ilmu yang potensial berada dalam diri individu-individu. Dengan demikian jelas, bahwa setiap peserta didik tak mungkin hanya menggali ilmu dari guru dan buku-buku. Tak kalah pentingnya, para peserta didik menggali ilmu dari kemampuan dirinya dalam konteks mengembangkan pemikiran kritis dan analitis serta oleh adanya kemampuan melakukan riset. Melalui penguasaan terhadap dua kategori ilmu itulah para peserta didik memiliki kesiapan secara lebih baik menghadapi aneka pengalaman dan tantangan hidup.

Bagaimana hubungan di antara dua kategori ilmu itu dapat dijelaskan melalui perumpamaan sebagai berikut. Ilmu yang diharapkan dapat diibaratkan sebagai kuali yang di dalamnya tersedia bahan mentah dan bumbu-bumbu yang siap dimasak. Ilmu yang potensial dapat diibaratkan sebagai kompor untuk memasak. Persoalannya terletak pada kompor. Jika ternyata kompor itu tak bisa menyalakan api, maka sampai kapan pun masakan dalam kuali takkan pernah matang. Itulah mengapa, kompor harus disulut menjadi sumber api. Sebab hanya dengan demikian memasak makanan benar-benar terjadi dengan sesungguhnya.

Berbagai disiplin ilmu adalah bahan mentah masakan beserta bumbu dalam kuali itu. Sedangkan kemampuan peserta didik berpikir kritis, analitis dan kemampuan melakukan riset adalah kompor yang menyala-nyala. Keduanya harus sambung menyambung satu sama lain. Keduanya harus saling fungsional satu sama lain. Karena itu, dunia pendidikan melakukan kesalahan besar jika ternyata peserta didik hanya sebatas mampu menghafal teori-teori. Adalah tugas dunia pendidikan menyeimbangkan keduanya.

Tentu saja, dunia pendidikan menghadapi tantangan berat tatkala dituntut mampu mempertajam ilmu yang potensial pada diri setiap peserta didik. Dunia pendidikan harus mengenali secara cermat individu per individu peserta didik. Tak semua institusi pendidikan mampu mewujudkan keharusan ini. Jika guru-guru dalam institusi pendidikan ternyata tak bermutu, maka besar kemungkinan institusi pendidikan tersebut gagal mengembangkan ilmu yang potensial pada setiap peserta didik.

Kita lalu teringat sosok guru bernama Ibu Muslimah dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Guru ini cermat menelisik ada tidaknya ilmu yang potensial pada setiap individu anak didiknya. Hasilnya sungguh menakjubkan. Ibu Muslimah merupakan ikon seorang pendidik yang mampu mengaktualisasi potensi individual murid-muridnya.[]

No comments:

Post a Comment