Wednesday, November 2, 2011

pendidikan tanpa kebudayaan

PENDIDIKAN TANPA KEBUDAYAAN

oleh
Anwari WMK

PADA derajat tertentu, elegan memberikan apresiasi terhadap reshuffle kabinet pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebab, melalui reshuffle kabinet tersebut Kementerian Pendidikan Nasional berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jika sebelumnya urusan kebudayaan berdasarkan perspektif tata kelola pemerintahan diintegrasikan ke dalam Kementerian Pariwisata, pada akhirnya dikembalikan untuk sepenuhnya bersenyawa dengan Kementerian Pendidikan. Praksis pendidikan ke depan lalu terbayangkan bakal memiliki resonansi dengan kebudayaan. Tapi pada derajat yang lain, tak terelakkan terus bertahannya situasi kritikal yang tercermin ke dalam pertanyaan: Mungkinkah masalah lama pendidikan tanpa kebudayaan dapat diselesaikan dengan segera melalui terbentuknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?


Apa boleh buat, pertanyaan ini harus dijawab dengan kata "tidak". Terbentukya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan takkan otomatis mengakhiri dengan segera situasi pendidikan tanpa kebudayaan. Itu karena, pendidikan tanpa kebudayaan merupakan persoalan yang teramat pelik, rumit, serta membutuhkan berbagai macam pendekatan untuk mengatasinya. Hadirnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya sebatas menyatukan ranah yang tercerai berai secara kelembagaan berdasarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Agar sepenuhnya berorientasi budaya, praksis pendidikan masih harus memasuki fase koreksi yang luar biasa dahsyatnya.

Rintangan ke arah terbentuknya sistem pendidikan berorientasi budaya dapat disimak pada enam masalah pelik yang terus bergulir selama ini, yaitu: (1) tawuran dan atau perkelahian pelajar, (2) korupsi di kalangan pejabat pengelola pendidikan, (3) timbulnya kasus-kasus psikotropika, (4) contek massal ujian nasional, (5) problema plagiarisme, dan (6) jual beli gelar akademik. Praksis pendidikan benar-benar terdistorsi oleh tumbuhnya kultur kekerasan, banalitas kekuasaan, rendahnya derajat moralitas, punahnya kejujuran, hilangnya otentisitas, serta maraknya komersialisasi. Dengan enam persoalan ini maka terdapat penanda betapa praksis pendidikan belum berorentasi budaya. Institusi-institusi pendidikan pada umumnya kehilangan nuansa dan dimensi budaya.

Sulit membantah kesahihan sebuah argumentasi, bahwa sesungguhnya dibutuhkan upaya serius agar pendidikan sepenuhnya bersukmakan kebudayaan. Integrasi pendidikan dan kebudayaan harus diletakkan sebagai agenda besar penentu eksistensi bangsa hingga ke masa depan. Upaya yang niscaya dilakukan tak cukup dengan hanya mengubah Kementerian Pendidikan Nasional menjadi Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan. Perubahan kelembagaan ini sebaiknya dibaca semata sebagai syarat minimal untuk keperluan reintegrasi pendidikan dan kebudayaan. Hal substansial yang mutlak dilakukan agar pendidikan sepenuhnya bersenyawa dengan kebudayaan terkait erat dengan terlaksananya dua imperatif berikut ini.

Pertama, pendidikan memikul tanggung jawab memajukan kebudayaan. Kedua, kebudayaan adi luhung berkedudukan sebagai landasan pijak untuk memajukan pendidikan. Pada imperatif pertama, pendidikan dituntut oleh sebuah situasi agar memiliki kejelasan konsepsi dalam hal menjunjung tinggi multikulturalisme. Pada imperatif kedua, inovasi dan terobosan yang sepenuhnya mewarnai dinamika dunia pendidikan digali dan ditemukan inspirasinya dari kancah dan khazanah kebudayaan. Maka, terbentuknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan kondisi yang necessary, tapi jelas tidak sufficient.[]


No comments:

Post a Comment