Friday, August 2, 2013

Kekuasaan Politik dan Ilmu Pengetahuan

KEKUASAAN POLITIK DAN ILMU PENGETAHUAN

Oleh Anwari WMK

Realitas hidup umat manusia pada berbagai durasi waktu, kurun dan zaman, sesungguhnya terus-menerus diwarnai oleh penonjolan peran dan fungsi ilmu pengetahuan. Hayat umat manusia tiada henti memosisikan secara terhormat ilmu pengetahuan sebagai faktor fundamental terciptanya kemuliaan. Persis sebagaimana termaktup dalam pandangan umum masyarakat luas, bahwa dengan berilmu pengetahuan seorang manusia menapak tangga kemuliaan.

Terlebih lagi, tatkala muncul teknologi baru dan instrumentasi mutakhir yang terbukti canggih dan bahkan super canggih, jelas semakin tebal keyakinan umat manusia bahwa progresivitas senantiasa lahir, tumbuh dan berkembang dari rahim ilmu pengetahuan.

Di bawah sadar manusia lalu muncul kesimpulan yang bersifat generik, bahwa sehebat apapun teknologi dan instrumentasi baru yang mempengaruhi kehidupan masyarakat, semuanya merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu pengetahuan. Kemunculan bangsa-bangsa dan negeri-negeri terhormat di muka Bumi juga dideterminasi oleh kapasitas genuine rakyatnya dalam hal penguasaan secara mumpuni ilmu pengetahuan.

Namun demikiaan, catatan lain tak mungkin diabaikan. Bahwa, ilmu pengetahuan sangat terbuka dimanfaatkan oleh siapa pun dan untuk tujuan apa pun. Itulah mengapa, dalam aspek aksiologi, ilmu pengetahuan senantiasa diperhadapkan dengan masalah-masalah moral dan etik. Pendayagunaan ilmu pengetahuan tak selalu sejalan dengan cita-cita luhur tegaknya humanisme.

Manusia dengan mecenderungan buruk menghalalkan segala acara asal tujuan tercapai, justru teraselerasikan dengan memanfaatkan secara lancung ilmu pengetahuan. Penggunaan secara masif mesin pembunuh masal, misalnya, dalam konteks perkembangan teknologi benar-benar lahir dari rahim ilmu pengetahuan. Dalam konteks persoalan ini pula kita sesungguhnya diperhadapkan dengan sisi gelap dan sisi buruk ilmu pengetahuan.

Sebagaimana kemudian tertabalkan dalam Teori Kritis para filosof Mahzab Frankfurt, dengan gamblang terdedahkan kesimpulan: ilmu pengetahuan sesungguhnya tak pernah bebas nilai. Malahan, ilmu pengetahuan rentan disalahgunakan menjadi alat pemukul demi mengalahkan orang lain untuk tujuan pokok memenangkan kuasa politik, kepentingan uang dan gengsi. Sangat bisa dimengerti pada akhirnya, mengapa salah satu faktor penentu keberlanjutan kuasa imperialisme di dunia hingga dewasa ini dimungkinkan oleh upaya sistematis penyalahgunaan ilmu pengetahuan.

Walau semula idealitas ilmu pengetahuan diagungkan sebagai dasar terciptanya kemuliaan hidup umat manusia, pada akhirnya ilmu pengetahuan terbelokkan sekadar menjadi "belati" bagi terbunuhnya peradaban adiluhung yang senantiasa menuntut tumbal pengorbanan. Jika pada mulanya ilmu pengetahuan berwajah malaikat, justru pada akhirnya menyerigai kehidupan umat manusia dengan laku gerombolan iblis.

Mengingat ilmu pengetahuan sangatlah rentan disalahgunakan untuk menghancur leburkan kemanusiaan melalui persenyawaannya dengan kekuasaan politik, maka sudah saatnya bagi dunia pendidikan memahami problema fundamental kemanusiaan, persis sebagaimana tertangkap dalam sorotan Teori Kritis Mahzab Frankfurt.

Dalam hal ini, dunia pendidikan dituntut jeli memahami sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan. Metode paling tepat dalam hal menyingkapkan sisi gelap dan sisi terang ilmu pengetahuan itu adalah mencari saling hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan politik. Seberapa dekat atau seberapa jauh hubungan antara kekuasaan politik dan ilmu pengetahuan, sejatinya dijadikan penanda untuk mendeteksi sepenuhnya perihal ada tidaknya sisi gelap ilmu pengetahuan.

Memang, mutlak diakui, bahwa tak seluruh kekuasaan politik beroperasi secara lancung dengan menumbuh suburkan upaya-upaya sengaja penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Kekuasaan politik yang konsisten mewujudkan keadilan, justru mendayagunakan ilmu pengetahuan demi menjunjung tinggi kemanusiaan atau kemuliaan manusia. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan benar-benar hadir dengan membawa serta cahaya terang benderang kemanusiaan. Bukan saja ilmu pengetahuan  berkedudukan sebagai sumber pencerahan bagi umat manusia, bahkan lalu terdedahkan sebagai solusi masalah-masalah bersama umat manusia.

Akan tetapi sebaliknya, kekuasaan politik yang bengis dan imperialistik merupakan penyebab utama timbulnya problematika penyalahgunaan ilmu pengetahuan. Sebab, dengan tegaknya kekuasaan politik yang bengis maka dengan sendirinya kehidupan bersama dipandu oleh feodalisme. Celakanya lagi, feodalisme menggiring kekuasaan politik sepenuhnya berwatak pragmatik dan koruptif.

Sejatinya dunia pendidikan menyadari kenyataan buruk ini. Pemahaman dunia pendidikan sebaiknya menyentuh aspek paling inti dari problematika kemanusiaan di masa kini justru dalam hubungannya dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Bahwa bagi kekuasaan politik berwatak bengis-imperialistik, ilmu pengetahuan didayagunakan secara banal hanya untuk melahirkan keburukan yang dampak destruktifnya dirasakan masyarakat secara serta merta.

Hanya saja, dunia pendidikan masih jauh panggang dari api memenuhi imperatif ini akibat compang-campingnya berbagai kebijakan pendidikan di tingkat nasional.[]

Thursday, May 2, 2013

Pendidikan, Kebudayaan dan Humanisme

PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN DAN HUMANISME

Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

MENGACU pada tinjauan holistisisme-filosofis, maka pendidikan, kebudayaan dan humanisme berada dalam satu kesatuan makna. Baik pendidikan, kebudayaan maupun humanisme tak dapat dipisahkan satu sama lain. Proses-proses pendidikan sekaligus merupakan proses kebudayaan yang potensial menumbuh kembangkan kesadaran humanisme. Maka, kesalahan besar jika pendidikan terpisahkan dari kebudayaan dan humanisme. Bahkan, pendidikanlah yang sejatinya menyembuhkan penyakit-penyakit kebudayaan dan patologi kemanusiaan.

Sebagaimana diketahui, pendidikan merupakan proses pengubahan sikap manusia, komunitas dan masyarakat. Dalam pengertiaannya yang sederhana, inilah dimensi sisiologis pendidikan. Tujuan pokok dari pengubahan sikap itu adalah menghantarkan manusia, komunitas dan masyarakat agar mampu menggapai fase dewasa, supaya tidak merosot menuju fase kebinatangan. Pada dasarnya, beragam format pengajaran dan pelatihan dimaksudkan untuk mengefektifkan fungsi pendidikan dalam usaha tak kenal henti mendewasakan manusia, komunitas, dan masyarakat. Itulah mengapa, umat manusia di sepanjang zaman terus-menerus membutuhkan pendidikan.

Dalam perspektif antropologi, kebudayaan adalah totalitas pengetahuan dan pengalaman manusia yang terakumulasi sejalan dengan keberadaannya sebagai mahluk sosial. Dengan kebudayaan berarti terdapat penegasan, bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang konstruksi eksistensialnya dilandaskan pada akumulasi pengetahuan dan pengalaman. Dengan mendayagunakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman itu, maka manusia memiliki kapasitas untuk dengan saksama memahami hakikat lingkungan, kepelikan dan tantangan lingkungan. Juga dengan akumulasi pengetahuan dan pengalaman, tersedia bahan-bahan untuk keperluan menyusun pedoman tingkah laku. Sebagai pendekatan untuk pemecahan masalah, kebudayaan memungkinkan manusia mampu memahami dirinya sendiri.

Humanisme adalah paham yang mengasumsikan mahluk manusia sebagai dimensi paling penting dalam keseluruhan telaah berlandaskan ilmu pengetahuaan. Deskrispsi dan penjelasan tentang manusia adalah aspek paling pokok dari seluruh substansi yang termaktub dalam ilmu pengetahuan. Perhormatan terhadap ilmu pengetahuan sama dan sebangun maknanya dengan penghormatan terhadap manusia. Ilmu pengetahuan diajarkan untuk mempertajam rasa dan perasaan kemanusiaan. Sehingga dengan demikian, toleransi terhadadap perkembangan illmu pengetahuan mengacu pada tak terlukainya humanisme.

Manakala direnungkan secara serius, uraian di atas mendedahkan hubungan yang tak terpisahkan antara pendidikan, kebudayaan dan humanisme. Skema yang terbentuk oleh hubungan tersebut secara keseluruhan berkaitan erat dengan eksistensi manusia. Pendidikan mendewasakan manusia, kebudayaan memperkuat pemahaman manusia terhadap makna hidup, dan humanisme meniscayakan hayat manusia diperlakukan sebagai faktor penting dari segala telaah atau kajian ilmu pengetahuan. Hubungan tiga aspek ini benar-benar saling melengkapi. Bahkan, pendidikan yang berwibawa membawa serta pengajaran dan pelatihan untuk mempertajam pemahaman terhadap kebudayaan dan humanisme.

Masalahnya, hubungan yang niscaya ini tak selalu terakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pendidikn nasional. Tak ada upaya sungguh-sungguh pada tingkat kebijakan untuk merancang integrasi segitiga pendidikan-kebudayaan-humanisme. Kebijakan pendidikan nasional bahkan kian menjauh dari dimensi kebudayaan dan semakin terasing dari humanisme. Contoh konkretnya adalah Ujian Nasional, yang tanpa henti mencetuskan kontroversi. Ujian Nasional merupakan satu model evaluasi pendidikan yang tak relevan untuk keperluan penguatan makna hidup dan untuk memahkotai manusia sebagai intisari telaah ilmu pengetahuan.

Dalam tinjauan holistisisme-filosofis, sesungguhnya sangatlah jelas keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan dan humanisme. Inilah keterkaitan yang mengondisikan pendidikan bercorak kultural dan sekaligus humanistik. Inilah keterkaitan yang bersifat aksiomatik. Tapi produksi dan reproduksi kebijakan pendidikan nasional tak selalu memberi garansi untuk mencerap secara cerdas hakikat keterkaitan tiga hal tersebut. Para perancang kebijakan pendidikan nasional bukanlah figur-figur protagonis yang paham filosofi kebudayaan dan humanisme.[]

Wednesday, May 1, 2013

Sains Menyelamatkan Demokrasi

SAINS MENYELAMATKAN DEMOKRASI

Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

MAMPUKAH sains menyelamatkan demokrasi? Bagi sebagian orang, pertanyaan ini terkesan absurd. Tapi, manakala dipikirkan dengan sungguh-sungguh, sains merupakan salah satu pilar dalam hayat umat manusia yang mampu turut serta mengatasi krisis demokrasi. Dan sebagaimana diketahui, krisis demokrasi bukan saja berarti ketiadaan demokrasi dalam realitas hidup negara-bangsa. Krisis demokrasi juga muncul tanpa bisa dielakkan akibat tidak efektifnya sistem politik [yang semula ditengarai demokratis] demi terwujudnya kemaslahatan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Persis sebagaimana terjadi di Indonesia dewasa ini, krisis demokrasi benar-benar menemukan aksentuasinya serta faktualitasnya dalam kancah kompetisi politik. Pada berbagai lini kekuasaan politik, mengemuka pola kompetisi liberalistik. Patologi korupsi dan rapuhnya hukum oleh bersimaharajalelanya ketidakadilan justru mendorong kompetisi bercorak liberalistik itu hanya melahirkan aksi-aksi politik anti-kerakyatan. Publik tak mendapatkan manfaat signifikan dari praksis demokrasi. Tak pelak lagi, inilah krisis demokrasi yang begitu terang benderang di Indonesia kini.

Pertanyaannya, mungkinkah krisis demokrasi dapat diakhiri? Jawaban terhadap pertanyaan ini memiliki kaitan konteks dengan sains.

Apa yang bisa kita garisbawahi adalah sebuah prinsip. Bahwa tatkala demokrasi dilanda krisis, maka hal fundamental yang mendesak dikaji ulang adalah hubungan segitiga negara-masyarakat-perekomonian. Jika dalam hubungan segitiga tersebut negara tidak obyektif, maka tendensi yang tak terelakkan adalah masyarakat yang tersudutkan secara telak sebagai tumbal pengorbanan kepentingan modal aktor-aktor penggerak perekonomian. Realitas buruk ini tengah berlangsung di Indonesia dalam bentuknya yang amat sangat menonjol.

Pada satu sisi, apararur pemerintah bertindak sebagai makelar dalam jejaring hubungan antara negara dan masyarakat atau dalam rentang hubungan antara negara dan aktor-aktor ekonomi. Pada lain pihak, dari ranah negara, aparatur-aparatur pemerintahan memetik keuntungan melalui jalan korupsi, dan dari masyarakat atau aktor ekonomi aparatur pemerintah meraih keuntungan melalui jalan pungli. Itulah mengapa, reformasi birokrasi publik meniscayakan terjadinya transformasi aparatur pemerintahan, dari yang sebelumnya berwatak broker berubah menjadi berjiwa agensi. 

Situasi faktual yang sangat buruk tersebut kini mendesak dikoreksi secara sungguh-sungguh. Terlebih lagi, kecenderungan baru yang melanda berbagai aspek kehidupan adalah semakin determinatifnya peran sains  dan teknologi. Diakui atau tidak, perkembangan baru dalam kancah kehidupan masyarakat maupun dalam dinamika perekonomian justru malah menuntut pemanfaatan secara lebih besar sains dan teknologi. Hingga kemudian sampai pada satu titik, di mana telah mulai terbentuk formasi knowledge society dan knowledge economy. Pertanyaan kritikalnya: Bagaimana mungkin knowledge society dan knowledge economy terakselerasikan keberadaannya manakala masih jua bergemuruh krisis demokrasi?

Sesungguhnya, isu sains menyelamatkan demokrasi memiliki kejelasan hakikat dan logika. Terutama untuk keperluan menyambut hadirnya knowledge society dan knowledge economy, sains meniscayakan penyelamatan demokrasi dari ancaman krisis yang kian parah.

Pertama, watak dasar sains adalah kejujuran dan obyektivitas. Lompatan besar kemajuan sains mempersyaratkan kejujuran dan obyektivitas. Sebab, hanya dengan kejujuran dan obyektivitas itulah maka inisiatif-inisiatif baru dalam dialektika perkembangan sains menghasilkan output yang otentik. Kedua, sains berkembang dengan didukung oleh pola kerja sistemik yang menjunjung tinggi koherensi dan holistisisme.

Baik kejujuran, obyektivitas, koherensi maupun holistisisme mendesak ditumbuh kembangkan sebagai pijakan dasar agar sains bermanfaat maksimal mendukung terbentuknya orde kehidupan knowledge society dan knowledge economy. Praksis demokrasi dituntut mampu menyesuaikan diri dengan prinsip sains.

Hanya saja, upaya ke arah ini turut ditentukan oleh proses edukasi sains di dunia pendidikan.[]

Wednesday, April 24, 2013

Solusi Edukatif Kebangsaan

SOLUSI EDUKATIF KEBANGSAAN

Oleh
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

SEBAGAI bangsa, ternyata Indonesia dibelit oleh begitu banyak masalah. Dari dunia persepakbolaan hingga politik kekuasaan, belitan masalah itu pun rumit tak berujung pangkal. Seakan, Indonesia merupakan ensiklopedi masalah-masalah. Sehingga, tak mengada-ada jika lalu muncul gagasan untuk menemukan solusi alternatif dengan berpijak pada spirit edukatif. Dalam konteks ini, sengaja dilakukan upaya penelisikan: Bagaimana dunia pendidikan dilibatkan secara serius untuk turut serta mengatasi masalah kebangsaan.

Bagaimana pun, pendidikan merupakan sebuah ranah kehidupan yang masih bening saat menyimak dan menyibak kemelut kebangsaan. Meski pun di sana-sini bertaburan hipokritas, toh dunia pendidikan masih lebih jernih mencerna masalah-masalah kebangsaan. Pendidikan jelas merupakan mercusuar optimisme yang potensial mengubah masalah kebangsaan menjadi tantangan yang musti dituntaskan.

Hal penting yang patut dicatat jika pendidikan sengaja diperlakukan sebagai bagian dari solusi masalah kebangsaan adalah perspektifnya yang spesifik. Manakala disimak berdasarkan perspektif edukatif, maka masalah kebangsaan terbagi menjadi dua kategori pokok.

Pertama, masalah kebangsaan terkait dengan rendahnya daya saing nasional dalam era globalisasi kini. Padahal, implikasi serius yang ditimbulkan oleh rendahnya daya saing nasional adalah memburuknya kesejahteraan rakyat. Di tengah hantaman globalisasi yang tak mengenal belas kasihan, rakyat justru tak memiliki pegangan untuk mempertahankan eksistensinya. Ketiadaan daya saing sama dan sebangun maknanya dengan pemunahan secara pelan perlahan eksistensi rakyat.

Kedua, masalah kebangsaan terkait erat dengan format kebijakan negara. Tak dapat dipungkiri, kebijakan negara tidak aspiratif manakala disimak berdasarkan sudut pandang kedaulatan rakyat. Kebijakan demi kebijakan terus-menerus diproduksi oleh kuasa politik pada berbagai lini. Tapi tragisnya, kebijakan itu tak berpihak pada rakyat banyak. Konyolnya lagi, kebijakan-kebijakan dilahirkan semata sebagai kelanjutan logis dari kepentingan elite-elite politik. Ini merupakan akibat langsung dari realisme politik kontemporer yang sepenuhnya bercorak transaksional. Itulah sesungguhnya politik "wani piro".

Dengan memerhatikan dua kategori masalah tersebut, maka dunia pendidikan pun mampu meneropong potensialitas kebangsaan yang terserak ke berbagai arah. Potensialitas kebangsaan dimaksud adalah beragamnya kelompok masyarakat madani yang menguasai situasi riil kemasyarakatan. Potensilitas kebangsaan yang lain adalah masih terpeliharanya spirit pengorbanan dalam hati sanubari rakyat bangak.

Bertitik tolak dari semua itu, maka upaya saksama yang lantas niscaya dilakukan dunia pendidikan adalah mengembangkan berbagai macam kerangka edukasi tentang politik representasi. Tujuannya, agar formasi keanggotaan parlemen diisi oleh elemen-elemen potensialitas kebangsaan, yang memang diupayakan oleh dunia pendidikan. Substansi pendidikan diberi bobot yang lebih besar untuk turut serta melahirkan figur-figur mumpuni yang kelak berkiprah di parlemen. Proses edukasi lalu diwarnai oleh menguatnya pendidikan kebangsaan.

Selain itu, niscaya bagi dunia pendidikan mengajarkan seluk beluk kebijakan negara yang mengacu pada kebenaran hakiki. Dengan "kebenaran hakiki" berarti, kebijakan negara dirumuskan untuk tujuan pokok agar postur dan sukma kebijakan negara sepenuhnya responsif dan adaptif terhadap aspirasi publik. Maka, harus lahir dan terbentuk apa yang disebut "kebenaran aspiratif publik".

Dengan metode penyampaian secara sederhana, mudah dimengerti dan gampang dicerna, maka berbagai hal yang dikemukakan di atas optimis dapat diwujudkan dalam ranah pendidikan. Jika praksis pendidikan benar-benar berwatak solutif seperti dikemukakan di atas, maka itulah sesungguhnya pendidikan karakter. Artinya, pendidikan membentuk manusia-manusia berkarakter dalam resonansinya dengan solusi masalah kebangsaan.

Tantangan berikutnya lalu kembali pada dunia pendidikan itu sendiri. Bersediakah dunia pendidikan menjawab tantangan ini?[]

Tiga Sukma Solidaritas

TIGA SUKMA SOLIDARITAS

Oleh
Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta

AKSI kekekerasan tak habis-habisnya berlangsung di Indonesia, dan terus-menerus mewarnai ruang publik, serta dicerna oleh jutaan pemirsa televisi, pendengar radio, dan pembaca surat kabar. Bahkan atas nama solidaritas corp, kekerasan didentumkan menjadi peristiwa tragis yang berujung kematian dan pengorbanan nyawa. Begitulah seperti yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Belasan anggota Kopasus datang di malam hari, dan lalu membunuh empat narapida dari kalangan preman, sebagai aksi balas dendam. Sebab, sebelum peristiwa tersebut tergelar, seorang anggota Kopasus terbunuh oleh pengeroyokan empat orang preman itu.

Bercermin pada peristiwa ini, solidaritas ternyata mustahil bebas nilai. Aksi dengan orientasi apa pun bisa menggunakan solidaritas sebagai dasar pijakan. Tindakan dengan pandangan dunia apa pun dengan sangat mudah mengeksploitasi solidaritas. Bukan hanya altruisme, kebengisan pun amat sangat terbuka dirajut menjadi aksi kolektif dengan mengatasnamakan solidaritas. Maka, penting untuk kemudian menyuguhkan sebuah referensi kesadaran bagi dunia pendidikan, demi mendudukkan makna hakiki solidaritas dalam realitas hidup kolektif.

Sampai kapan pun, manusia sebagai mahluk sosial senantiasa membutuhkan solidaritas. Bermakna tidaknya hidup umat manusia, turut ditentukan oleh solidaritas. Jika solidaritas berada dalam satu titik kecenderungan untuk hanya memperluas dan memperdalam kebengisan, maka solidaritas mengikis habis segenap makna kebajikan dalam realitas hidup umat manusia. Sebaliknya jika solidaritas memperkukuh kemaslahatan, maka hidup umat manusia bermakna. Itulah mengapa, ada tiga sukma solidaritas.

Pertama, solidaritas berkaitan erat dengan pengerahan talenta-talenta. Sebagaimana diketahui, talenta merupakan bakat bawaan individual sejak sang manusia dilahirkan ke muka Bumi. Talenta merupakan semesta potensialitas yang inherent dalam diri manusia, serta berkedudukan sebagai faktor personal yang memang memungkinkan sang manusia mampu memberi kontribusi signifikan terhadap tegaknya peradaban adiluhung. Sejatinya, solidaritas dirajut untuk tujuan mulia pengerahan talenta-talenta. Solidaritas sengaja diperlakukan sebagai corak respons untuk melempangkan jalan seluas-luasnya demi teraktualisasikannya talenta-talenta.

Kedua, solidaritas dirancang bangun meraih keunggulan dalam bidang teknologi. Solidaritas untuk keperluan ini mengacu pada filosofi, bahwa teknologi merupakan dimensi yang bertautan erat dengan penerapan ilmu pengetahuan. Dalam teknologi termaktub metode ilmiah yang dimaksudkan untuk menggapai tujuan-tujuan mulia hidup umat manusia. Teknologi merupakan sarana agar manusia mampu meraih taraf hidup bermartabat. Maka, solidaritas untuk meraih kemajuan teknologi merupakan keharusan yang niscaya.

Ketiga, solidaritas dikerahkan untuk tujuan memperkukuh toleransi. Inilah imperatif yang memandang kemajemukan sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, dan karena itu pula kemajemukan diterima secara lapang dada dengan semangat dan kesadaran berwatak toleran. Kemajemukan dipersepsi secara sadar sebagai mosaik sosio-kultural agar hidup manusia benar-benar diwarnai oleh upaya saling memberi dan saling menerima puspa ragam kebajikan. Sejatinya, kemajemukan inilah yang sungguh-sungguh diperjuangkan keberadaannya, melalui solidaritas. Dengan tujuan memperkuat toleransi, solidaritas diperlakukan sebagai sikap hidup yang memberi makna kepada kemanusiaan.

Baik talenta, teknologi maupun toleransi (T3) merupakan satu kesatuan konteks yang dapat dikerahkan untuk membentuk satu model solidaritas bagi tumbuhnya altruisme. Sejalan dengan dinamika kehidupan abad XXI, T3 ini niscaya untuk saling bersenyawa satu sama lain (Richard Florida, The Rise of Creative Class, 2002). Dunia pendidikan merupakan ranah pembelajaran untuk menemukan point-point persenyawaan T3. Pada upaya persenyawan T3 itulah, energi kreatif manusia dipalingkan dari kekerasan. Maka, dunia pendidikan dituntut sepenuhnya mampu membangun solidaritas kemanusiaan yang berpijak pada persenyawaan T3.[]

Tuesday, April 23, 2013

Substansi, Bukan Simbol

SUBSTANSI, BUKAN SIMBOL

Oleh Anwari WMK
Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Jubilee School, Sunter, Jakarta

HINGGA kini, tak habis-habisnya ruang publik disuguhi pemberitaan pers tentang penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara. Paling tidak sejak era pasca-Orde Baru, penganugerahan gelar honoris causa di kalangan pejabat negara tersebut telah sedemikian rupa mencuat sebagai fenomena. Para pejabat negara tampak hebat dan dahsyat saat berada di atas panggung penerimaan gelar honoris causa. Ruang publik benar-benar diwarnai tontonan betapa sempurnanya eksistensi pejabat negara itu setelah meraih gelar honoris causa.

Tapi, di sini, mencuat problema eksistensial, yaitu seberapa jelas dan konkret hubungan antara gelar honoris causa pada satu sisi dan karya-karya akademik yang maslahat bagi kehidupan pada lain sisi. Apa yang terjadi jika para pejabat penyandang gelar honoris causa itu ternyata tak menyumbang apa-apa terhadap besarnya kebutuhan lahirnya karya-karya akademik yang maslahat? Bagaimana jika ternyata gelar honoris causa itu hanyalah simbolik belaka?

Tentu saja, tak ada yang keliru dengan simbol-simbol. Sebagai homo kultural, manusia takkan pernah bisa lari dari simbol-simbol. Sejalan dengan sensibilitas kultural, manusia membutuhkan simbol-simbol. Dalam tilikan kultural, teridentifikasi begitu banyaknya satuan-satuan simbol yang dibutuhkan sebagai penanda eksistensi manusia. Cuma saja, sekali pun tergolong mahal, hakikat dari simbol itu hanyalah pelengkap eksistensi semata. Tak lebih dan tak kurang.

Secara kategoris, simbol senantiasa ekuivalen dengan bentuk, dan substansi analog dengan isi. Masalahnya kini, muncul desakan untuk dengan segera melakukan transformasi kebangsaan. Dalam perubahan-perubahan besar abad XXI, para pejabat negara nyata-nyata diperhadapkan dengan pilihan logis-rasional. Bagaimana eksistensi mereka mencuat ke permukaan dengan lebih mengedepankan substansi ketimbang simbol. Eksistensi pejabat negara pada abad XXI, lebih terkait dengan isi ketimbang bentuk.

Pada akhirnya kita tak bisa mengelak dari tuntutan-tuntutan logis. Lebih pentingnya isi ketimbang bentuk sesungguhnya berkaitan erat dengan keniscayaan Indonesia sebagai bangsa besar yang seharusnya mandiri. Besarnya kekayaan sumber daya alam dan besarnya jumlah penduduk merupakan faktor unggulan yang memungkinkan Indonesia sepenuhnya mandiri sebagai bangsa. Tapi kita tahu, selama ini faktor sumber daya alam dan demografi tak terkelola baik. Bahkan, dua faktor itu terbengkalai semrawut hingga lalu dirasakan sebagai kutukan dan beban.

Kuasa politik feodalistik merupakan penyebab pokok terbengkalainya dua faktor unggulan itu. Pada satu sisi, kuasa politik feodalistik terus-terus memosisikan rakyat semata sebagai pelengkap penderita pada keseluruhan relasi kekuasaan. Pada lain sisi, kuasa politik feodalistik lebih merasa absah manakala digdaya tampil di hadapan publik dengan mengutamakan simbol-simbol ketimbang substansi. Pelayanan publik yang tak pernah mumpuni justru lalu membuncah menjadi situasi umum yang tak memungkinkan pejabat negara trengginas dan cekatan melayani rakyat meraih kesejahteraan.

Implikasi strategisnya tampak mencolok pada tak adanya kerangka dan skema inovasi. Tata kelola masyarakat, pemerintahan dan perekonomian tak tersentuh inovasi. Kalau pun makna penting inovasi terus dipidatokan, inovasi ternyata berjalan tanpa landasan filosofi dan tanpa kejelasan arah menggapai kesejahteraan rakyat. Inovasi pun terjebak ke dalam orientasi simbolistik yang sama sekali tak substantif.

Situasi tak menguntungkan itu diperparah oleh timbulnya fenomena honoris causa. Para pejabat negara penerima gelar honoris causa sudah merasa cukup dengan gempitanya seremoni penganugerahan. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, misalnya, selama sembilan tahun terakhir telah menerima tujuh gelar honoris causa. Tapi sayang seribu sayang, sang presiden masih terjebak ke dalam pusaran simbolisme.[]

Pasca-UN Karut-Marut

PASCA-UN KARUT MARUT

Oleh Anwari WMK

TAK ada satu pihak pun mampu membantah kenyataan buruk yang tengah menggelayuti jagad pendidikan nasional pada tahun 2013 ini. Bahwa sesungguhnya, karut-marut mewarnai Ujian Nasional (UN). Heboh di berbagai sudut Nusantara tercetus dan dirasakan publik sebagai bencana tersebab kebijakan aneh. Peserta didik tersiksa oleh keterlambatan distribusi, kekurangan jumlah dan ketertukaran soal UN. Para orangtua resah menatap anaknya gundah, dan lantas terhembuskan sebagai isu nasional media massa. Pada belantika media sosial Facebook maupun Twitter kritik dan sumpah serapah berhamburan. Tapi anehnya, di televisi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tampil dengan wajah tanpa dosa. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.

Tanpa harus menggunakan kerangka teori rumit berbelit-belit, karut-marut UN dapat dianalisis dengan mudah. Akar masalahnya berkelindan dengan problema tata kelola pengadaan dan distribusi soal UN. Secara geografis, Indonesia negeri kepulauan dengan bentangan wilayah luas, dari Sabang hingga Merauke. Dengan jadwal pelaksanaan serentak, kebutuhan terhadap soal dan jawaban UN berada dalam magnitude besar. Secara demikian berarti, produksi soal dan lembaran jawaban lebih masuk akal manakala tak terkonsentrasi semata di Pulau Jawa. Wilayah-wilayah luas terbentang di luar Pulau Jawa semestinya diberi wewenang mencetak serta mendistribusikan soal dan lembar jawaban UN. Aneh bin ajaib, imperatif ini diabaikan.

Manakala ditelusuri lebih lanjut mengapa imperatif ini diabaikan, maka jawabnya juga jelas dan tegas. Inilah konsekuensi logis dari politik pendidikan nasional yang sejak lama  terdistorsi arogansi dan orientasi proyek. Sudah mafhum diketahui publik, arogansi dan orientasi proyek itu bersilang sengkarut dengan keberadaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dengan arogansi, kebijakan-kebijakan pendidikan tak dirancang berbasis riset secara komprehensif-filosofis. Dengan orientasi proyek, pelayanan pendidikan disulap menjadi perburuan rente, demi menggerus anggaran negara.

Tak berlebihan jika kemudian dikatakan, bahwa para pengambil keputusan di Kemendikbud sesungguhnya kosong melompong dari keluhuran jiwa humanisme untuk kemaslahatan anak-anak bangsa di berbagai pelosok negeri. Kepiawaian melontarkan makna penting pendidikan di ruang publik, tak lebih hanyalah retorika belaka. Dengan berlindung di balik kemuflase kebijakan pendidikan nasional, peserta didik, guru, dan orangtua murid dipersepsi secara sempit sebagai obyek eksploitasi demi terus bertahannya arogansi dan orientasi proyek. Tanpa bisa dielakkan, karut-marut perhelatan akbar semacam UN diekspresikan sebagai problematika remeh-temeh.

Namun dari sini pula lalu muncul pertanyaan lain yang tak kalah kritikalnya: Bagaimana masa depan evaluasi pendidikan nasional? Dengan bercermin pada UN 2013 yang terdiatorsi karut-marut, bagaimana cetak biru evaluasi pendidikan nasional yang relevan dengan tantangan zaman baru?

Artikel pendek ini sama sekali tak berpretensi mengusulkan penghapusan evaluasi pendidikan nasional. Justru, artikel pendek ini mengusung argumentasi tentang pentingnya evaluasi pendidikan nasional. Hanya saja, format dan filosofi evaluasi tesebut bukan epigon, bukan taklid, dari model evaluasi yang dirancang bangun Kemendikbud selama ini. Inilah evaluasi yang bersifat terobosan, di dalamnya terkandung deteksi kualitas pendidikan untuk keperluan menjawab tantangan baru terbentuknya masyarakat berilmu pengetahuan.

Evaluasi ini tak memosisikan pendidikan mengekor di belakang haluan kemajuan ekonomi dan industri. Evaluasi justru memposisikan pendidikan berfungsi sebagai lokomotif kemajuan ekonomi dan industri. Cetak biru ekonomi dan industri berdaya saing tinggi diperlakukan sebagai bahan pembelajaran di dunia pendidikan.

Evaluasi dilaksanakan justru untuk menjadikan pendidikan inspirasi kejayaan bangsa. Inilah evaluasi yang lepas dari politik pendidikan kepala batu.[]