Saturday, November 24, 2012

laut dalam teropong pendidikan

 LAUT DALAM TEROPONG PENDIDIKAN

Oleh 
 Anwari WMK

LAPORAN hasil penelitian yang dilansir oleh Badan Informal Geospasial menunjukkan, bahwa kenaikan permukaan air laut di Indonesia mencapai 2,8 milimeter per tahun. Berlangsung selama satu tahun, penelitian tersebut fokus pada apa yang disebut “perubahan permukaan air laut di seluruh wilayah perairan Indonesia”.

Jika dikomparasikan dengan kecenderungan yang terjadi di Planet Bumi secara keseluruhan, maka kenaikan permukaan air laut Indonesia itu masih di bawah rata-rata. Di seluruh hamparan Planet Bumi, kenaikan rata-rata permukaan air laut mencapai 3 milimeter per tahun. Sungguh pun demikian, kenyataan ini tak membenarkan Indonesia menepuk dada membanggakan diri.

Berapa pun volumennya, kenaikan permukaan air laut merupakan malapetaka ekologis. Wilayah-wilayah daratan berada dalam ancaman permanen untuk tenggelam dengan segera. Negeri-negeri kepulaun [seperti Indonesia] pada akhirnya tinggal menghitung hari: menyaksikan sebagian dari pulau-pulaunya tenggelam oleh kenaikan permukaan air laut. Juga tak dapat dielakkan, petaka ekologis ini pun membahayakan kehidupan manusia.

Tak pelak lagi, kenaikan permukaan air laut serta-merta “merampok” wilayah-wilayah daratan, tempat manusia merawat eksistensinya serta mempertahankan kehidupannya.

Pertanyaan yang kemudian menarik dilontarkan adalah ini. Seberapa mampu sesungguhnya dunia pendidikan merespons krisis ekologis tersebab kenaikan permukaan air laut? Siapkah  dunia pendidikan membentuk suatu model edukasi penyelamatan daratan dari ancaman permanen kenaikan permukaan air laut? Apa yang telah, sedang dan akan dilakukan dunia pendidikan untuk turut serta memberikan kontribusi positif terhadap setiap prakarsa pengatasan masalah kenaikan permukaan air laut? Hal-hal apa saja yang niscaya dilakukan oleh dunia pendidikan?

Dengan mempelajari perilaku alam dalam konteks kenaikan permukaan air laut di Indonesia, maka ada catatan menarik yang penting dicermati oleh dunia pendidikan. Pemantauan dengan menggunakan satelit altimetri menunjukkan, bahwa kenaikan permukaan air laut di Indonesia bersifat temporal. Hasil penelitian selama kurun waktu 1972-1992 menunjukkan, bahwa permukaan air laut justru lebih rendah dibandingkan dengan permukaan air laut pada kurun waktu 1959-1972 (Kompas, 17 November 2012, hlm. 12). Di samping itu, untuk seluruh wilayah Nusantara, kenaikan permukaan air laut ternyata tidak merata. Berada di bawah pengaruh arus angin Samudera Pasifik, kenaikan permukaan air laut di Kawasan Timur Indonesia (KTI) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan permukaan air laut di Kawasan Barat Indonesia (KBI).

Faktor yang kemudian penting diperhatikan adalah edukasi tentang kelautan, yang secara sadar mengambil titik tolak dari temuan-temuan penelitian. Perbedaan wilayah antara KTI dan KBI mengakibatnya timbulnya perbedaan tingkat kenaikan permukaan air laut. Secara demikian berarti, pendidikan ihwal kelautan sebaiknya didasarkan pada deskripsi dan analisis terhadap perbedaan permukaan air laut secara spasial.

Sesuai dengan perbedaan letak wilayah antara KTI dan KBI, maka kenaikan permukaan air laut pun dipedagogikan ke hadapan peserta didik senantiasa berada dalam satu titik diferensiasi atau perbedaan. Dari sini, dunia pendidikan membentuk struktur kesadaran di kalangan peserta didik, bahwa deskripsi dan analisis terhadap kenaikan permukaan air laut meniscayakan adanya suatu pendekatan keilmuwan yang spesifik, yaitu mengacu pada perbedaan spasial atau wilayah, antara KTI dan KBI.

Hingga kini, pendidikan tentang laut dan kelautan tak bisa mengelak dari asumsi umum: data permukaan air laut merupakan indikator perubahan iklim.  Tetapi, menjelaskan ini saja di depan kelas tidaklah memadai. Dituntut kecanggihan pedagogi dengan menyimak arti perbedaan spasial atau wilayah.[]

No comments:

Post a Comment