LAUT DALAM TEROPONG PENDIDIKAN
Oleh
Anwari WMK
Oleh
Anwari WMK
LAPORAN hasil
penelitian yang dilansir oleh Badan Informal Geospasial menunjukkan, bahwa
kenaikan permukaan air laut di Indonesia mencapai 2,8 milimeter per tahun. Berlangsung
selama satu tahun, penelitian tersebut fokus pada apa yang disebut “perubahan
permukaan air laut di seluruh wilayah perairan Indonesia”.
Jika dikomparasikan dengan kecenderungan yang terjadi di
Planet Bumi secara keseluruhan, maka kenaikan permukaan air laut Indonesia itu
masih di bawah rata-rata. Di seluruh hamparan Planet Bumi, kenaikan rata-rata
permukaan air laut mencapai 3 milimeter per tahun. Sungguh pun demikian,
kenyataan ini tak membenarkan Indonesia menepuk dada membanggakan diri.
Berapa pun volumennya, kenaikan permukaan air laut
merupakan malapetaka ekologis. Wilayah-wilayah daratan berada dalam ancaman
permanen untuk tenggelam dengan segera. Negeri-negeri kepulaun [seperti
Indonesia] pada akhirnya tinggal menghitung hari: menyaksikan sebagian dari
pulau-pulaunya tenggelam oleh kenaikan permukaan air laut. Juga tak dapat
dielakkan, petaka ekologis ini pun membahayakan kehidupan manusia.
Tak pelak lagi, kenaikan permukaan air laut serta-merta
“merampok” wilayah-wilayah daratan, tempat manusia merawat eksistensinya serta
mempertahankan kehidupannya.
Pertanyaan yang kemudian menarik dilontarkan adalah ini.
Seberapa mampu sesungguhnya dunia pendidikan merespons krisis ekologis tersebab
kenaikan permukaan air laut? Siapkah
dunia pendidikan membentuk suatu model edukasi penyelamatan daratan dari
ancaman permanen kenaikan permukaan air laut? Apa yang telah, sedang dan akan
dilakukan dunia pendidikan untuk turut serta memberikan kontribusi positif terhadap
setiap prakarsa pengatasan masalah kenaikan permukaan air laut? Hal-hal apa
saja yang niscaya dilakukan oleh dunia pendidikan?
Dengan mempelajari perilaku alam dalam konteks kenaikan
permukaan air laut di Indonesia, maka ada catatan menarik yang penting
dicermati oleh dunia pendidikan. Pemantauan dengan menggunakan satelit
altimetri menunjukkan, bahwa kenaikan permukaan air laut di Indonesia bersifat
temporal. Hasil penelitian selama kurun waktu 1972-1992 menunjukkan, bahwa
permukaan air laut justru lebih rendah dibandingkan dengan permukaan air laut
pada kurun waktu 1959-1972 (Kompas, 17
November 2012, hlm. 12). Di samping itu, untuk seluruh wilayah Nusantara,
kenaikan permukaan air laut ternyata tidak merata. Berada di bawah pengaruh
arus angin Samudera Pasifik, kenaikan permukaan air laut di Kawasan Timur
Indonesia (KTI) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan permukaan air
laut di Kawasan Barat Indonesia (KBI).
Faktor yang kemudian penting diperhatikan adalah edukasi
tentang kelautan, yang secara sadar mengambil titik tolak dari temuan-temuan penelitian.
Perbedaan wilayah antara KTI dan KBI mengakibatnya timbulnya perbedaan tingkat
kenaikan permukaan air laut. Secara demikian berarti, pendidikan ihwal kelautan
sebaiknya didasarkan pada deskripsi dan analisis terhadap perbedaan permukaan
air laut secara spasial.
Sesuai dengan perbedaan letak wilayah antara KTI dan KBI,
maka kenaikan permukaan air laut pun dipedagogikan ke hadapan peserta didik senantiasa
berada dalam satu titik diferensiasi atau perbedaan. Dari sini, dunia
pendidikan membentuk struktur kesadaran di kalangan peserta didik, bahwa deskripsi
dan analisis terhadap kenaikan permukaan air laut meniscayakan adanya suatu
pendekatan keilmuwan yang spesifik, yaitu mengacu pada perbedaan spasial atau
wilayah, antara KTI dan KBI.
Hingga kini, pendidikan tentang laut dan kelautan tak bisa
mengelak dari asumsi umum: data permukaan air
laut merupakan indikator perubahan iklim. Tetapi, menjelaskan ini saja di depan kelas
tidaklah memadai. Dituntut kecanggihan pedagogi dengan menyimak arti perbedaan
spasial atau wilayah.[]
No comments:
Post a Comment