Saturday, November 24, 2012

antara guru dan kurikulum

ANTARA GURU DAN KURIKULUM

Oleh  
Anwari WMK  

SAMPAI kapanpun, kurikulum hanyalah alat. Sehebat apapun kurikulum, tak berarti apa-apa jika guru tak bermutu. Di tangan guru yang pragmatis dan serampangan, kurikulum bermetamorfosis menjadi ornamen mati, sekedar pelengkap formal proses edukasi. Sebaliknya di tangan guru bermutu, kurikulum yang bagus menghasilkan format pembelajaran yang dahsyat. Itulah mengapa, pembaharuan kurikulum mutlak mempertimbangkan kualitas guru.


Dalam praksis pendidikan di Indonesia, sudah sejak lama muncul istilah “pengembangan kurikulum”. Kurikulum yang ada ditafsirkan dan dimaknai lebih lanjut. Upaya penafsiran dan pemaknaan kurikulum itu sebagian tebesarnya terpikul di pundak guru. Bagaimana jika ternyata guru tak memiliki kecerdasan dan kepiawaian menafsirkan dan memaknai kurikulum? Apa jadinya dunia pendidikan jika timbul penbenturan antara kehebatan kurikulum di satu pihak dan buruknya mutu guru di lain pihak?

Sesuai dengan skenario yang dicanangkan pemerintah, maka terhitung sejak Juni 2013 diberlakukan kurikulum baru pada seluruh institusi pendidikan dasar dan menengah. Sejumlah asumsi menyebutkan, mutu kurikulum baru ini lebih baik dibandingkan dengan kurikulum lama. Konon, kehidupan siswa dalam atmosfer peradaban abad 21 dipertimbangkan sebagai landasan “filosofi” terbentuknya rancang bangun kurikulum baru. Dengan berpikir positif menangkap itikad baik pemerintah, anggaplah kurikulum baru ini bagian dari solusi masalah pendidikan. Melalui kurikulum baru itulah karut-marut pendidikan nasional diharapkan dapat diselesaikan hingga ke akar-akarnya.

Sungguh pun demikian, kita tak dapat mengelak dari pandangan kritis terhadap kurikulum baru. Respons yang bermunculan dari kalangan ahli pendidikan menengarai satu hal: tugas guru semakin berat. Guru dituntut mampu mencapai tujuan pendidikan yang tertera dalam kurikulum baru.  Respons ini jelas mengacu pada kondisi riil guru di lapangan. Bahwa di tingkat nasional, sebagian besar guru tidak layak disebut pendidik.

Tatkala sebagian besar guru rendah kapasitasnya dalam hal menafsirkan dan memaknai kurikulum, maka yang akan terjadi sesungguhnya malapetaka pendidikan. Target kurikulum membentuk siswa cerdas dan berbudi pekerti luhur, pada akhirnya hanyalah kehendak yang tertera di atas kertas. Tak lebih dan tak kurang. Pendidikan nasional lalu semakin tampat kusut oleh muculnya paradoks yang bergulir dalam jangka panjang. Paradoks itu tampak mencolok pada kenyataan ini: kurikulum yang bagus ditimpali oleh kualitas guru yang buruk.

Sebuah catatan menyebutkan bahwa, substansi kurikulum baru ini layak disebut terobosan. Misalnya untuk jenjang Sekolah Dasar (SD), kurikulum baru berpijak pada sistem pembelajaran berbasis tematik integratif. Ada tema-tema spesifik yang diajarkan di dalam kelas, namun sekaligus berwatak integratif interdisipliner. Bagaimana mungkin guru yang kualitasnya jonggok mampu mengajar berdasarkan kurikulum semacam ini? Bukankah guru-guru di Indonesia belum terbiasa berpikir secara lintas ilmu, secara interdisipliner?

Tantangan ini harus dijawab melalui pelatihan guru agar sepenuhnya cerdas mengelaborasi kurikulum. Mau tak mau, guru harus diperkenalkan pada filsafat ilmu. Bersamaan dengan implementasi kurikulum baru, pelatihan guru berbasis filsafat ilmu merupakan keharusan yang niscaya untuk digelar dengan segera. Namun, masalah baru bakal muncul ke permukaan, yaitu bagaimana hakikat filsafat ilmu dapat disampaikan secara mudah dalam sebuah ajang pelatihan yang singkat. Filosof-filosof mana yang rela berjibaku menjelaskan secara mudah hakikat filsafat ilmu dalam kaitan konteks dengan kurikulum baru?

Catatan pendek ini hanyalah sebuah sinyal peringatan. Meskipun lebih baik dibanding kurikulum lama, pemerintah jangan hanya jemawa dan sekadar lihai menepuk dada berhasil membentuk kurikulum baru.[]

No comments:

Post a Comment