ANTARA GURU DAN KURIKULUM
Oleh
Anwari WMK
SAMPAI kapanpun, kurikulum hanyalah alat. Sehebat apapun
kurikulum, tak berarti apa-apa jika guru tak bermutu. Di tangan guru yang
pragmatis dan serampangan, kurikulum bermetamorfosis menjadi ornamen mati,
sekedar pelengkap formal proses edukasi. Sebaliknya di tangan guru bermutu,
kurikulum yang bagus menghasilkan format pembelajaran yang dahsyat. Itulah
mengapa, pembaharuan kurikulum mutlak mempertimbangkan kualitas guru.
Dalam praksis pendidikan di Indonesia, sudah sejak lama muncul istilah “pengembangan kurikulum”. Kurikulum yang ada ditafsirkan dan dimaknai lebih lanjut. Upaya penafsiran dan pemaknaan kurikulum itu sebagian tebesarnya terpikul di pundak guru. Bagaimana jika ternyata guru tak memiliki kecerdasan dan kepiawaian menafsirkan dan memaknai kurikulum? Apa jadinya dunia pendidikan jika timbul penbenturan antara kehebatan kurikulum di satu pihak dan buruknya mutu guru di lain pihak?
Sesuai dengan skenario yang dicanangkan pemerintah, maka terhitung
sejak Juni 2013 diberlakukan kurikulum baru pada seluruh institusi pendidikan
dasar dan menengah. Sejumlah asumsi menyebutkan, mutu kurikulum baru ini lebih
baik dibandingkan dengan kurikulum lama. Konon, kehidupan siswa dalam atmosfer
peradaban abad 21 dipertimbangkan sebagai landasan “filosofi” terbentuknya
rancang bangun kurikulum baru. Dengan berpikir positif menangkap itikad baik
pemerintah, anggaplah kurikulum baru ini bagian dari solusi masalah pendidikan.
Melalui kurikulum baru itulah karut-marut pendidikan nasional diharapkan dapat diselesaikan
hingga ke akar-akarnya.
Sungguh pun demikian, kita tak dapat mengelak dari
pandangan kritis terhadap kurikulum baru. Respons yang bermunculan dari
kalangan ahli pendidikan menengarai satu hal: tugas guru semakin berat. Guru dituntut
mampu mencapai tujuan pendidikan yang tertera dalam kurikulum baru. Respons ini jelas mengacu pada kondisi riil
guru di lapangan. Bahwa di tingkat nasional, sebagian besar guru tidak layak
disebut pendidik.
Tatkala sebagian besar guru rendah kapasitasnya dalam hal
menafsirkan dan memaknai kurikulum, maka yang akan terjadi sesungguhnya
malapetaka pendidikan. Target kurikulum membentuk siswa cerdas dan berbudi
pekerti luhur, pada akhirnya hanyalah kehendak yang tertera di atas kertas. Tak
lebih dan tak kurang. Pendidikan nasional lalu semakin tampat kusut oleh
muculnya paradoks yang bergulir dalam jangka panjang. Paradoks itu tampak
mencolok pada kenyataan ini: kurikulum yang bagus ditimpali oleh kualitas guru
yang buruk.
Sebuah catatan menyebutkan bahwa, substansi kurikulum
baru ini layak disebut terobosan. Misalnya untuk jenjang Sekolah Dasar (SD),
kurikulum baru berpijak pada sistem pembelajaran berbasis tematik integratif. Ada
tema-tema spesifik yang diajarkan di dalam kelas, namun sekaligus berwatak
integratif interdisipliner. Bagaimana mungkin guru yang kualitasnya jonggok mampu
mengajar berdasarkan kurikulum semacam ini? Bukankah guru-guru di Indonesia
belum terbiasa berpikir secara lintas ilmu, secara interdisipliner?
Tantangan ini harus dijawab melalui pelatihan guru agar sepenuhnya
cerdas mengelaborasi kurikulum. Mau tak mau, guru harus diperkenalkan pada filsafat
ilmu. Bersamaan dengan implementasi kurikulum baru, pelatihan guru berbasis
filsafat ilmu merupakan keharusan yang niscaya untuk digelar dengan segera. Namun,
masalah baru bakal muncul ke permukaan, yaitu bagaimana hakikat filsafat ilmu
dapat disampaikan secara mudah dalam sebuah ajang pelatihan yang singkat. Filosof-filosof
mana yang rela berjibaku menjelaskan secara mudah hakikat filsafat ilmu dalam
kaitan konteks dengan kurikulum baru?
Catatan
pendek ini hanyalah sebuah sinyal peringatan. Meskipun lebih baik dibanding
kurikulum lama, pemerintah jangan hanya jemawa dan sekadar lihai menepuk dada berhasil
membentuk kurikulum baru.[]
No comments:
Post a Comment