Monday, July 7, 2014

Momentum Pendidikan Karakter

MOMENTUM PENDIDIKAN KARAKTER

SESUNGGUHNYA, selalu tersedia momentum bagi berlangsungnya pendidikan karakter. Tapi sayangnya, momentum itu acapkali disia-siakan, diabaikan. Ramadan, misalnya, merupakan momentum pendidikan karakter dalam konteks hidup sederhana. Keharusan mengekang diri dari kelaziman makan dan minum merupakan dasar pengukuhan personalitas yang steril dari watak pemubadziran. Namun faktanya, Ramadan justru malah menstimuli jutaan orang untuk berkonsumsi pangan secara dramatis.

Laporan situs berita BBC pada 7 Juli 2014 menyebutkan, bahwa pemubadziran makanan di Arab Saudi selama Ramadan tahun ini mencapai sekitar 30% dari total 4 juta ton volume pangan yang diolah. Sebagai akibatnya, terjadi pemubadziran produk dan komoditas pangan senilai 1,2 juta real. Ini berarti, setara dengan Rp 3,8 miliar. Dewan Kota Mekah lalu mengeluh, lantaran harus berjibaku mengatasi sangat besarnya volume makanan terbuang. Hanya untuk kurun waktu tiga hari pertama Ramadan saja, sampah makanan mencapai 5.000 ton, sehingga memaksa pendayagunaan 45 alat pengolah sampah serta harus mengerahkan 8.000 tenaga kebersihan tambahan.

Diakui atau tidak, fakta ini merupakan potret maraknya hedonisme melalui pemubadziran pangan. Selain itu, kenyataan ini merupakan gambaran berkenaan dengan tergerusnya makna puasa Ramadan sebagai momentum pelatihan jiwa manusia demi mengukuhkan pola kehidupan bervisi kebersahajaan. Inilah habitus pemubadziran yang justru malah menabalkan Arab Saudi sebagai negara pembuang sampah terbesar keempat di dunia. Ramadan tak dimanfaatkan sebagai ruang waktu pelatihan bagi jiwa manusia untuk tak menyia-nyiakan pangan.

Secara prinsip, sangatlah jelas dan terang benderang faktor penyebab pemubadziran pangan di Arab Saudi itu. Pertama, kebiasaan warga membeli terlalu banyak komoditas pangan selama berlangsungnya Ramadan. Kedua, warga memilih memasak makanan baru setiap hari, serta menolak upaya memasak ulang makanan sisa. Ketiga, melonjaknya sumbangan pangan bagi kaum miskin justru berlangsung di tengah situasi rendahnya kapasitas distribusi organisasi-organisasi amal. Diperhadapkan dengan problema pemubadziran pangan itu maka tak berlebihan bilamana dikatakan, bahwa Ramadan belum berfungsi sebagai ruang waktu pendidikan karakter.

Pembicaraan tentang pemubadziran pangan selama Ramadan di atas, jelas hanyalah sekadar contoh dan atau ilustrasi. Kenyataan buruk yang sama sesungguhnya dapat dutemukan di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. Betapa Ramadan telah sedemikian rupa berdialektika dengan gelimang konsumerisme dan hedonisme. Ramadan memperluas cakupan naluriah hewaniah yang tiada tara. Ramadan gagal diperlakukan sebagai momentum pendidikan karakter.

Mungkin sebagian orang bertanya, bagaimana menjelaskan hubungan antara pendidikan karakter dan pengekangan terhadap naluri konsumsi? Dalam perspektif apa keduanya mencapai sebuah titik temu?

Haus dan lapar merupakan persoalan universal yang dihadapi umat manusia di sepanjang bentangan historis Planet Bumi. Peradaban dan kebudayaan diperhadapkan dengan persoalan haus dan lapar pada puak-puak tertentu manusia. Dan ternyata, proses pemenuhan akan haus dan lapar itu turut serta membentuk karakter, baik karakter dalam konteks perorangan maupun karakter dalam konteks kolektivitas manusia.

Tatkala pengatasan akan haus dan lapar sepenuhnya berdimensi naluriah, maka pola perilaku manusia setara dengan ego kebinatangan. Di sini, berlangsung proses pembinatangan dalam keharibaan jiwa manusia. Dan sebaliknya, tatkala pengatasan akan haus dan lapar berdimensi spiritual, maka pola perilaku manusia mempertinggi derajat kesadaran super ego dalam personalitas manusia. Di sini, terjadi proses keilahian dalam semesta jiwa manusia. Pada proses yang terakhir inilah sesungguhnya terdapat momen pendidikan karakter. Sebuah proses yang inherent dengan ibadah puasa.[]

Anwari WMK